Monday, February 21, 2011

Dewa Ketakutan

Suara hati adalah suara yang harus diperjuangkan, selain suara hati, seharusnya manusia juga mengenal suara perut, karena bila perut berteriak hilang semua suara di dunia ini, hilang semua-semuanya, yang ada hanyalah “isi” dan isilah perut hingga kau puas, hingga kau bisa tenang. Alangkah lucunya, saat perut sudah penuh, maka nafsulah yang kosong, dan mausia bersesak-sesak, berbunuh-membunuh demi mengisi nafsunya yang tak pernah penuh, inilah bedanya, saat perut penuh dia akan menolak yang masuk, tapi nafsu selalu meminta, korban-korban berjatuhan, tak ada lagi pengharapan, mungkin inilah manusia adanya.

            Terdengar suara ghaib memanggilku, dialah yang aku tunggu-tunggu, karena dialah antara ada dan tiada, dia tega menghujatku bila walau perutku berteriak, bahkan siap membunuhku dengan pedang dipunggung yang siap di cabut. Belakangan aku mulai menerka-nerka siapa gerangan, ssuatu keberadaan, bukan jika dia malaikat, bukan juga jika dia setan, jin atau sebangsanya. Ataukah Tuhan? Tidak mungkin, mana ada Tuhan yang mengancam seperti sedang mengolok dirinya yang tidak kuasa mengontrol mulutku untuk “mengeluh” jika tak mengikuti perintahnya. Tapi kini aku sangat ketakutan, tubuhnya mengeluarkan sinar sejuta warna kelam, warna kemarahan, aku menangkat badanku dengan tangan yang lemas, sial tapi, dibelakangku ada tembok, aku baru sadar berada di sudut, sudut sebuh pintu Mall, sebuah pintu yang membawa manusia kearah nikmatnya nafsu dunia, nikmatnya membeli apapun yang mereka suka, tanpa menyadari itu berguna atau tidak, dan aku yang seperti ini adalah kotoran bagi mereka, untuk mencapai depan pintunya yang megah pun aku harus menunggu malam, jika aku beruntung aku bisa tidur di depannya, berharap aku memimpikan betapa indahnya jika aku bisa membeli apa yang ada di dalamnya, tapi sering tubuhku seperti terkoyak-koyak karena ditarik paksa oleh manusia besar dengan seragam kebesarannya, tubuhku yang lemah tak terurus, lum terisi perut ini serasa hancur, akhirnya akupun harus mengalah, karena sekali saja aku merasakan sakit yang luar biasa tatkala itu aku melawan dan sepatu besar itu bak menancap di perutku yang kosong. Malam ini harusnya aku beruntung bisa bermimpi indah dengan segala kegemerlapannya, mimpi adalah hal yang paling mahal dari diriku saat ini, tanpa mimpi aku sudah tak sanggup lagi hidup, hingga akhirnya suatu keberadaan datang, dia sering datang kepadaku, sudah sering aku menangis da mencium-cium lututnya untuk segera dapat melepaskan dan pergi jauh dariku, apalah yang dia minta dari orang yang kotor ini, bahkan aku tak mempunyai suatu apapun.

            Suatu keberadaan kini semakin mendekat, matanya menatapku dengan tajam, berwarna merah, rambutnya yang panjang terurai kedepan, menyentuh kulitku hingga pedih karena tajmnya bak jarum, dia mengenakan jubah berawarna hijau tua, dibawah sinar lampu dari jauh dia tampak sangat menakutkan, dari dekat rasa itu berubah menjadi sebuah rasa kutukan yang harus aku terima, kutukan yang tak pernah terbayangkan, seharusnya aku tak perlu takut, segala cara sudah aku lakukan untuk menjauh darinya, toh percuma juga, dia selalu menemukanku, di lorong-lorong, di samping rumah-rumah, dimanapun jika dia ingin dia dapat menemukanku, lalu kenapa aku harus takut pada suatu keberadaan, bukankah aku harus memeluknya sebagai kawan yang selalu datang kepaku, kenapa aku mengharap orang-orang yang selalu menjauh dariku, menganggapku kotor, hina, dan sebuah keindahan jika aku tak ada. Dan satu keberadaan, dengan seramnya, dengan pedang di punggungnya, selalu menemuiku. Tapi tetap saja, aku tak bisa menyembunyikan rasa takut yang luar biasa, rasa kutukan ini adalah rasa takut yang klimaks, bahkan tak terbendung. Jantung ini berdebar layaknya lepas, tubuh ini lemas selemas-lemasnya, bila dua matanya menatapmu, seribu mata mengitinya, dank au tak bisa bergerak kemana-mana. Otakku selalu bertengkar tentang siapa sebenarnya dia, apakah dia dewa ketakutan? Dialah yangs sering merasuk kedalam jiwa-jiwa manusia dan merusaknya, karena dialah kekacauan ada, karena dialah dewa ketakutan, hingga manusia harus tunduk dan takut padanya, dia menciptakan ketakutan-ketakutan dan membuat manusia untuk melepaskannya, menakut-nakuti manusia akan bangkrut, maka manusia menghalalkan segala cara untuk terus memperkaya dirinya, lalu ditakuti bahwa manusia akan di kecilkan, maka manusiapun berlomba-lomba memaksakan segala cara untuk kekuasaannya, dan lain dan lain dan lain-lainnya. Kini dia di depanku, mempengaruhi jiwaku, menambah ketakutannku, memaksaku melakukan keinginannya! Tapi mengapa harus aku!! Bukankah aku bukan manusia yang ada, manusia yang untuk membeli pun tak bisa, karena sudah lama aku membenci uang. Begitu banyak traumaku karena uang, uanglah yang membuatku seperti ini! Uanglah yang membuatku menghamba dan patuh pada dewa ketakutan, pada suatu keberadaan!

            Sekarang seharusnya aku sudah bebas, aku sudah lepas, dulu saat memiliki uang aku mudah takut, tapi kini aku tak berpunya dan papa pun masih saja dikejar-kejarnya, “takut dan takutlah padaku!” itulah yang selalu dilontarkannya dengan seribu mulut yang mengikutinya. Di depanku kini dia tetap mengeluarkan sabda yang sama, aku tak berani memandangnya, kurengkuh tubuh dan kakiku, aku menggigil ketakutan, aku berteriak histeris, mata ini pun tak bisa ku pejamkan, memaksaku untuk melihat, walau dengan berusaha sekuat tenaga aku tak sanggup melakukannya, kututup telinga dengan kedua tanganpun seribu suara tetap datang menghampiriku, memang beginilah rasanya, aku dipaksa melihat sesuatu yang aku benci dan aku takuti, inilah yang menyiksa diriku, batinku, ketenangannku, dimana sebenarnya ketenangan, saat kaya orang tak bisa tenang, miskinpun tetap tak tenang. Kenyataan pahit yang harus aku terima, sebuah dilema kutukan hidup dan sebuah konsistensi menjadi manusia. Tak ada seorangpun bisa menyelamatkan diri dari dewa ketakutan, karena dia suatu keberadaan, dan adanya dia hanya dia sendirilah yang bisa menentukan.
            Ingin rasanya ku berteriak hingga dunia ini runtuh, karena itu lebih baik jika dibandingkan berhadapan dengannya, akhirnya dalam ketakutan aku berpikir, sangat keras aku berpikir, mencari alasan,mencari sebab. Kini mulut ini mulai terbuka, dan aku tertawa sekeras-kerasnya aku tertawa, ketakutanku sudah over, sudah dan sudah cukup sampai disini aku merasa takut, toh dia juga akan selalu datang, bukankah dia suatu keberadaan, dan kenapa aku harus ikut mengikutinya atau takut kepadanya? Ketidakjelasannya membuat manusia selalu bingung menentukan sikap, ketidak mengertian manusia membuat lupa akan keberadaannya sendiri dan menghamba ke suatu keberadaan, dan kini aku sadar, aku harus menikmati ketakutan ini, biarkan takut ini ada dan apa adanya merasuk menggerogoti jiwaku, dan aku tetap tertawa lepas, takut membuatku tunduk dan tertawa membuatnya tunduk, tak ada yang kupikirkan selain kebahagiaan. Aku rasa suatu keberadaan alias dewa ketakutan iri padaku, dulu dia bisa mengontrolku, membuatku bertindak ini-itu dengan beribu-ribu alasan, entah berapa manusia yang aku lukai, yang aku rampas! Hey lihatkah wahai suatu keberadaan, kini aku tak membutuhkan apa-apa? Kau lihat gedung-gedung megah disini, aku baru sadar bahwa mereka milikku, bukankah aku masih bisa tidur di depannya dan terlindung dari hujan, dari sini pun aku bisa menikmati bintang-bulan dengan leluasa mengantarkanku tidur, hey suatu keberadaan, apakah kau lihat restoran-restoran mewah di kota ini, mereka juga milikku, tong-tong sampah itu memberiku kenikmatan untuk mengisi perut ini, dan saat ingin bercinta aku hanya membutuhkan sedikit imajinasi saja. Aku sudah sangat kaya dan berkecukupan dalam semuanya! Tidak lagi kau mengusikku untuk melakukan ini-itu di tengah ketenangan hidupku ini, kau suruh aku mencuri, kau suruh aku merampas, bahkan kau suruh aku memperkosa! Aku sudah tak lapar, dan nafsuku sudah terlampiaskan semuanya!

            Tak sadar aku sudah berdiri menatapnya dengan teriakan lantang, teriakan yang memekikkan telinga, dan tawaku mengelegarkan dunia, membangunkan bagi mereka yang mulai sadar, menampar mereka yang belum sadar. Ketakutan membuat mata hati rusak, orang tidak lagi memandang ketakutan seperti kesucian, yakni ketakutan yang berasal dari hati, bukan dari suatu keberadaan, bukan dari dewa ketakutan atau ketidakjelasan lainnya. Mereka tidak takut memakan, membunuh dan merampas sesamanya, tapi mereka takut jika tidak melakukannya, kekuasaan, kekayaan dan kepamoran dirinya akan hilang. Kini aku bebas! Aku terlepas, ketakutan sudah menghilang dari depanku, tak ada lagi kutukan, tak ada lagi kesakitan jiwa dalam diri ini, luarku kotor, batin dan jiwaku bersih. Aku berlari kedepan, menantang kemegahan gedung-gedung, kuhujat mereka, kuhujat semua! Semua tak lebih baik dariku, semua rendah, karena akulah yang sadar.
            Lalu dari ujung kegelapan malam, suatu keberadaan muncul, dia bersama seseorang, dibisikkan sesuatu ke orang tersebut lewat ubun-ubun, direngkuhnya hati hingga keluar, dan kini dia datang dengan seorang yang tak berhati, orang tersebutlah yang mendatangiku diwaktu sial, yang mencapkan kakinya di perutku, dengan seragam yang sama yang selalu dia kenakan, dan tangannya yang kuat kokoh itu bisa selalu menarikku dengan paksa hingga koyak seluruh tubuh ini. Aku mengamatinya, lalu aku berteriak padanya, memperingatkannya, bahwa dibelakangnya ada dewa ketakutan, suatu keberadaan! Semakin dekat semakin jelas dia datang dengan sangat marah, seperti induk singa kehilangan anaknya, aku sadar aku takkan selamat lagi, kudengar suatu keberadaan membisikkan kepadanya “dia orang gila yang selalu menyusahkannku, kini buatlah dia jera sejera-jeranya, apakah kamu tidak takut pekerjaanmu hilang gara-gara dia, kini dia berulah, kau harus kejam kepadanya, tak ada lagi toleransi, tak ada lagi member hati, tak ada lagi kasihan didalam dirimu, yang ada hanya kemarahan dan marahlah sebesar-besarnya”.
- Dewa Ketakutan

Friday, February 11, 2011

Hujan 2 Februari 2011


Hari ini memang sungguh sial, hujan mengguyurku di atas motor, aku terpeleset dan terpelanting hingga tak sadar diri, setelah ku bangun hanya kosong dan tak ada apapun di sekelilingku, motorku pun lenyap entah dimana. Kejadiannya begitu cepat karena aku pun tak bisa mengingat kronologisnya. Aku hanya bisa duduk terdiam dan pulang ke rumah jalan kaki yang jaraknya cukup jauh. Tak tahu pertanggung jawaban apa yang harus aku berikan kepada kakakku, atau orang tuaku bila menanyakan perihal motor yang hilang, tapi aku berpikir, nanti akan aku kerahkan semua teman-temanku untuk mencari motor itu. Tidak hanya itu, mengapa hp juga harus lenyap sehingga aku tidak bisa menghubungi orang untuk menjemputku, oh kepalaku pun masih saja pusing akibat terbentur trotoar jalan, lalu akupun harus memikirkan kesialan ini. Lebih baik segera aku pulang kerumah, dibawah air hujan yang masih terus menguyurku.

Dalam perjalanan aku mulai mengamati semua orang yang terasa aneh bagiku, teringat aku saat mabuk, akupun melihat orang-orang disekelilingku aneh, aku merasa berbeda dan kini aku merasakannya, mungkin ini akibat benturan di kepalaku, bahkan air hujan yang mengguyurku seakan tidak terasa apa-apa saat menyentuh kulitku, mungkin indra perasaku mengalami gangguan, seperti halnya saat dulu bersama teman-teman aku di sekap dalam kamar, mereka menungguku, mereka menjagaku, karena aku sedang gila, aku sedang berhalusinasi, pengaruh masrum itu memang sangat kuat, teringat bila menonton film Taking Woodstock,ada adegan dimana mereka terhanyut imajinasi menggunakan LSD, sejenis narkoba jaman dahulu tapi sekarang sudah hampir mustahil mendapatkannya, namun dengan masrum pun aku bisa berimajinasi sampai kebatas tertinggi.

Sudah satu jam aku berjalan, dan akhirnya aku melihat gang terakhir yang akan menunjukkan rumahku, tapi kaki langsung lemas saat mencapai ujung gang, betapa tidak! terlihat banyak orang berkumpul, tenda didirikan dan kursi-kursi sudah terpajang dengan rapi, orang berdatangan, bahkan teman-temanku berada disana. “Oh, adakah sesuatu terjadi disini?” Tanyaku dalam hati. Apalagi yang terjadi?. Terpikir olehku ada keluarga yang meninggal, mungkinkah kakakku, atau adikku, karena tidak mungkin orang tuaku, mereka berada daerah lain, Banten. Bersama kakak dan adikku, aku tinggal disini, di Yogyakarta, bersama kami menempuh ilmu, untuk menunjang maka kami dibelikan rumah, sehingga selalu bersama dan saling menjaga.

Dengan lemas aku berjalan menuju rumah, kulewati semua orang tanpa perduli, hanya berjalan perlahan dan lemas, aku memasuki rumah dan meneliti kedalam. Lama aku meneliti menyelusuri setiap ruangan, kakakku duduk di depan dengan adikku, kakakku yang satunya tidak tahu entah dimana, tapi di dalam rumah tidak ada hal lain kecuali banyak orang berkumpul, lalu ada tetanggaku yang terdiam menangis sendiri, dari wajah mereka kulihat kesedihan, kesedihan yang sangat dalam. Aku keluar rumah, lalu berjalan mengahampiri teman-temanku, kulihat ada si Basri yang menatap kosong, Franky yang dari tadi menundukkan muka disebelahnya, Bandot yang dengan gelisah duduk sambil menghisap rokok, dan juga kuliaht Ilham berjalan menghampiri bersama Ade cina, Jarwo, dan juga Azza. Ilham berjalan melewatiku, tanpa memperdulikaknku dia berjalan menyapa Basri, lalu dia menghampiri Bandot. Mereka mengobrol, tapi aku tidak memperdulikannya, aku melihat Bang Ucok di pojok, lalu ku datang mengahmpirinya yang duduk tenang mengisap rokok, tetapi kulihat dia mulai gusar, dan tenang kembali. Aku menyapanya, menanyakan apa yang terjadi, kenapa mereka berkumpul disini, bukankah mereka tidak tahu alamat rumahku? Bang Ucok hanya diam, seperti tak melihatku dia berdiri dan berjalan pergi meninggalkanku menuju Bandot dan yang lainnya. Aku masih bingung, sambil duduk sendri aku berfikir apa yang telah terjadi, apakah ini efek dari kepalaku yang terbentur dan kini aku berhalusinasi, atau ini hanya mimpi? Aku tampar pipiku, tak ada yang terjadi, tak ada yang berubah, aku masih ditempat yang sama dalam kondisi yang sama, bukan atas kasur. Bang Ucok adalah teman seangkatanku kuliah yang masih tersisa di Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum, kami angkatan 2004. Bila dikampus, aku sering merasa sendiri, teman seangkatanku sangat sedikit, mereka telah banyak yang lulus, untung aku mempunyai banyak teman dari segala angkatan, hingga angkatan 2010 pun aku ada. Walau sering merasa sendiri aku jarang merasakan sepi, karena bagiku semua sama, tak pernah aku merasa lebih senior dari mereka. Bersama-sama mereka kami mengahabiskan waktu mengobrol di kantin belakang, hingga sering kami malas masuk kelas bila sudah keasikan ngobrol satu sama lain. Mereka adalah teman terbaik yang pernah aku temui, sangat beragam satu sama lain, dan itulah yang membuatku senang. Selalu ada cerita diantara kita, selalu ada petualangan baru, selalu ada kegilaan baru. Aku mencintai mereka seperti saudara sendiri, tapi tunggu dulu, seperti ada yang kurang diantara mereka, aku tidak melihat si July, si kecil tukang bikin onar yang dengan mulutnya sering memancing emosi orang, dia juga teman seangkatanku, tapi dia sangat baik, suka menolong satu sama lain. Mungkin dia jadi hari ini berangkat pulang ke Jakarta, tempat asalnya, toh dia juga sudah meyelesaikan studinya.

Hujan mulai reda walau rintik-rintik kecil masih terdengar seperti alunan music, tapi bukanlah music yang aku suka seperti halnya music rock ala Avenged Sevenvold atau setidak-tidaknya merdu alunan James Blunt dengan Pianonya. Ini music yang kelam, music kesedihan, tapi aku belum tahu kesedihan seperti apa yang terjadi disni, aku mulai bosan, banyak terkaan yang muncul dikepalaku, dan semuanya buruk, mungkin ada satu terkaan bagus, mereka sengaja akan mengejutkanku, tapi apa? Bukankah ulang tahunku juga sudah lewat, lalu apa? Tidak mungkin ada kejutan, ini kesedihan dan aku masih mencari tahu. Ingin aku berjalan menghampiri teman-temanku dan berteriak di depan mereka, apa yang terjadi, kenapa kalian tidak memperdulikanku? Tapi seakan ada suatu hal yang membuatku enggan untuk melakukan itu, aku hanya bisa mengamati mereka, masih kulihat ada beberapa yang mencoba bercandaan, terlihat dari expresi mereka, juga aku melihat si Bandot yang mulai kesal melihat hal itu. Walau aku sendiri tak tahu kenapa Bandot kesal melihat candaan mereka, bukankah dia juga suka bercanda, Ilham juga melihat dengan tajam tanda tidak menyukainya.

Kini semua berdiri, seperti menanti sesuatu, mereka melihat kearah gang di belakangku, apa sebenarnya yang mereka tunggu? Tapi akhirnya mereka satu persatu duduk kembali dengan harap-harap cemas. Aku perhatikan orang-orang yang bolak balik berjalan di depanku, tapi mereka benar-benar mengacuhkan tidak peduli, bahkan saat Kakakku lewat pun dia hanya melihat kosong ke arahku, tapi seakan tak melihatku, itupun hanya sekilas. Aku mulai berpikir keras, suara-suara orang bercakap disekelilingku hanya seperti gema yang bergemuruh, eh ada apa ini, kenapa tiba-tiba suara mereka hanya berdengung-dengung tidak jelas, sepertinya aku tidak diperbolehkan mendengar percakapan mereka, sepertinya kesadaranku mulai hilang, tapi aku sangat mersa badan ini masih sehat, benturan dikepalaku pun sudah tidak terasa sakit. Tak lama semua orang berdiri kembali, mereka menuju ke arahku, tetapi kemudian melewatiku, dari sudut seperti gema ku dengar sirine dengan biasan cahanya memantul di tembok-tembok, semua orang menanti dan menunggu dengan berdiri, ya, tak salah lagi, itu adalah mobil ambulan, tapi siapa yang didalamnya?

Ambulan berjalan dengan lambat memasuki tenda dan berhenti tepat didepan rumahku, semua orang berkerubung di sekitarnya, aku cemas menanti ambulan itu di buka, dari kursi tempatku duduk aku berdiri dan melihat, pintu terbuka dengan pelan, di buka oleh kakakku, dan seperti ada pukulan keras di punggungku yang membuat aku langsung lemas, kulihat peti mati, ya tak salah lagi bahwa salah satu keluargaku ada yang meninggal, di dalamnya kulihat Tunas menangis layaknya anak kecil merengek, lalu ada juga si Dian kekasihku yang lemas, mukanya lebam, tapi itu bukan lebam pukulan, lebam tangisan air mata yang tak henti-hentinya mengucur dari di pipinya. Aku ingin sekali beranjak dan berlari melihat apa yang terjadi, tapi kaki ini sudah tidak dapat lagi digerakkan, seperti tenggelam dalam tanah dan ditutupi oleh semen, oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?

Peti di keluarkan, Dian yang sudah lemas di sambut dan di papah oleh tetanggaku Bu Indri, akupun masih tersemen kaku di tempat semula, dengan perlahan peti itu di sambut dan dimasukkan kedalam rumah, semua orang berduyun-duyun mengikutinya masuk kedalam rumah hingga terlihat sesak, dan aku masih lemas tersemen, hanya bisa menyaksikan, dan hanya berharap ini mimpi. Perlahan kaki ini bisa digerakkan, dengan ku seret aku berjalan kearah rumahku yang sesak, aku belum bisa masuk karena pintu teras pun sudah sangat penuh, dari kaca orang-orang sibuk melihat ke arah peti yang di taruhnya di ruang depan. Kulihat juga Ilham menerobos masuk dengan paksa lalu di ikuti oleh yang lainnya, walau semua orang tahu, rumah itu sudah seperti mau roboh dirubungi manusia-manusia.

Aku berdiam menunggu untuk bisa masuk, karena badan ini terlalu lemas untuk menerobos, aku lihat Wawan, Bogel, Ilham dan yang lainnya keluar dan saling menenangkan, Tunas pun yang dari tadi menangis ditenangkan oleh Basri di luar rumah. Semua berkabung, semua sedih, aku pun sedih, tapi tak ada air mata, karena masih misteri, siapa yang meninggal? Sambil mengamati dan melihat ku atur nafas sedemikian rupa untuk menguatkan mental, tapi seperti tak ada udara yang masuk ke paru-paru yang mungkin sudah hancur oleh rokok ini, oh, bukankah aku ada rencana dengan Ilham untuk berusaha berhenti merokok, masih ingat saat dikantin bahwa kita bersama-sama ingin menyenangkan pasangan masing-masing dan mencari terapi berhenti merokok dengan cara hipnoterapi, oh rokok, kini kau mulai menjengkelkanku.

Perlahan aku mulai melangkah setelah kuyakinkan perasaan ini untuk tabah dan sabar melihat apa yang akan terjadi, manusia-manusia yang tadi berjejalan masuk kini sudah keluar satu persatu dengan raut muka yang pilu, sedih dan seakan tak percaya dengan apa yan dilihatnya. Aku dekati peti itu, dan kini aku sadar bahwa aku sedang dalam mimpi, aku yakin ini bukan kenyataan, bagaimana tidak, aku melihat tubuhku di peti tersebut, penuh luka dan jahitan di wajahku, dan aku telah mati terbujur kaku, tapi ini aku masih dalam keadaan yang sehat, yang masih utuh, aku amati dengan teliti apakah benar itu aku, dengan tersenyum aku menutup mata, pipiku terlihat gemuk speerti lebam, aku sadari diri ini mulai takut dan seperti tertahan untuk menentuhnya. Berkali-kali aku menampar pipi, namun tak membangunkanku, apakah ini hanya halusinasi tingkat tinggi? Aku keluar dengan bingung, kulihat Dian menangis tersedu di ruang samping, lalu ditenangkan oleh kakakku, dialah perempuan yang selama ini kunanti, dialah yang aku relakan menjadi calon istriku kelak, yang akan mendampingi langkahku, yang akan selalu mengingatkanku. Tapi aku sedang bingung, aku tak ingin mendekatinya, aku bahkan tak ingin mendekati siapapun, aku hanya diam ingin sendiri untuk menenangkan diri ini, aku berjalan keluar dan terus berjalan, tak tahu hingga kemana aku berjalan, ku dengar Jenazah itu sudah mau di solatkan, dan tak tahu kenapa aku harus tetap menjauh, menjauh hingga tak ingin rasanya aku kembali, dan kini hujan semakin deras mengguyurku, aku tak tahu kemana arah kaki ini melanggkah, hingga aku duduk terdiam di suatu tempat, tempat di mana aku terbangun, dan berharap aku akan kembali tertidur sebelum mentari bersinar di ufuk timur, sebelum semua menjadi semakin membingungkan. Besok aku akan bangun kembali, diatas ranjangku, lalu pergi ketempat Dian untuk mengatakan betapa aku mencintainya, lalu kekost Sidokabul 16 speerti biasa, ke Kost Tunas-Gigih, ngobrol di kantin bersama anak-anak lainnya. Tapi aneh, mata ini tak terkantuk dan aku tetap terjaga dengan kebingungan.


- Hujan 2 Februari 2011

Wednesday, September 29, 2010

Di Penghujung Hisapan Candu

 

    Malam memang terasa sangat dingin, jaket tak lagi dapat memberikan kehangatan di badan ini, disepanjang lorong bergerombol manusia dengan muka lesu, anak kecil pun tahu mereka sedang dirundung pikiran kalut, rumah sakit memang tampat orang sakit dan menjadi sakit, sakit “kantong” dan sakit pikiran. Aku berjalan menghampiri bapak-bapak tua di ujung lorong bersebelahan dengan kamar sepupuku yang dirawat karena tifus dan flek paru-paru. Aneh, bagitu cepat mimiknya berubah bersemangat, seperti pahlawan dia menceritakan masa mudanya yang gagah tetapi tak sombong, seperti hilang bebannya, tak ada pikiran tentang biaya dan nasib anaknya yang tengah koma akibat kecelakaan, romantisme masa muda memang menggairahkan kesenangan tersendiri rupannya. Obrolan pun semakin akrab dengan kopi panas dan rokok kretek, udara dingin telah hanyut berkat hangatnya suasana.

    Dari samping terlihat gerombolan perawat berjalan mengunjungi kamar demi kamar, 2 perawat menggunakan seragam krem, sedangkan 4 yang lainnya putih, sepertinya ini pembelajaran untuk pendidikan keperawatan. Tiba-tiba orang tua di depanku berucap saat melihat para perawat lewat, “lihatlah nak, enaknya bila punya uang, lantas anaknya disekolahkan seperti mereka, kerjaannya gampang, enak dan dapat uang lagi” katanya seperti berdo’a, mungkin itu harapannya kepada anak ke duanya yang masih duduk di kelas 2 SMA. Obrolan pun beralih ke masalah pendidikan dan biaya mahal hingga tentang keadaan bangsa ini yang terus dirundung masalah PKB, yakni Pengangguran Kelas Berat. Aneh memang, bapak yang terlihat miskin pun membicarakan tentang kemiskinan, seakan lupa bahwa dirinya pun miskin, dengan tegas dan berapi dia membicarakan tentang politik yang kacau dan tak memihak, sudah sadar memang orang-orang miskin Indonesia akan keadaannya, tetapi bapak ini seperti mewakili berjuta-juta rakyat miskin yang masih tidak berani bahkan saat haknya diinjak-injak oleh penguasa dan tertipu akan sejuta janji yang menguap diudara tanpa hasil apa-apa.

    Keadaan badanku terasa semakin lelah, tapi mata tetap tak mau mengatup, menantang untuk melihat matahari terbit dari ufuk timur, melewati waktu malam ku berjalan melewati lorong yang kini bak hotel umum, mereka seperti kumpulan kerbau yang siap di jagal, terkelungkup dalam sudut-sudut pintu, dan entah sekarang sedang mimpi apa, mungkin arwah-arwah di rumah sakit ini juga ikut menghangatkan mereka, hingga bisa pulas seadannya. Ku cari bapak yang tadi, ternyata diapun sudah menjadi bagian diantra kerbau-kerbau itu, lalu sendiri ku duduk di taman, menghabiskan segala pikiran yang termuntahkan lewat sembulan asap rokok ini. Lama aku memandang langit yang cerah penuh bintang, tapi tak ada bulan, tak lengkap rasanya melihat bintsng tanpa bulan, seperti ada yang hilang, mungkin seperti ada pertanda.

    Ku bayangkan ada seseorang didepanku, mungkin ku berharap ada roh yang juga kesepian malam ini menemaniku, sekedar untuk berbagi cerita, atau setan-setan yang bosan menggangu orang sakit untuk sekedar memberikanku masukan busuk tentang dunia ini. Lama aku membayangkan, tak terjadi apa-apa, tak ada roh, tak ada setan, apalagi mengharapkan malaikat. Memang hanya rokok inilah yang menemaniku dalam segala hal, saat ku berbuat baik mereka menemaniku, saat ku berbuat buruk mereka juga yang setia memberi dukungan, menghiasi mulutku saat berceloteh tentang ahlak, juga penyedap saat meminum arak di tengah diskusi. Tak lama, segenep kebencian segera memuncak, terkumpul dalam tangan ini, oh tidak, ternyata aku bukan mahluk merdeka yang seperti aku bayangkan dan aku sadari, lihatlah wahai malam gelap, rokok ini berhasil mencampakkanku, dia bak pelacur yang selalu ku bawa, bahkan aku mengemis hanya saat ingin bercumbu dengannya, aku bingung membedakan antara kebiasaan dan kebutuhan, apakah aku sudah manusia, membabi buta dalam kerinduan di setiap batang ini adalah tak lebih baik dari penistaan terhadap kesadaranku. Badanku gemetar, tanganku tetap melakukan tugasnya sebagai perantara rokok-mulut dan asap. Ku lemparkan pikiranku ke langit atas, mencoba mencari jalan dan kebenaran.

    Tiga jam dalam beribu kepulan asap yang semakin menjadi-jadi, semakin berakumulasi juga kebencian ini, semakin gemetar juga badan ini, mental yang berat untuk memutuskan, kejalan mana pikiran ini harus ditujukan. Ku genggam kuat batang rokok ini hingga tak sadar hamper patah, gejolak apa dalam diri ini, pertentangan yang sangat kuat. Kembali teringat tentang orang tua miskin tadi, badannya yang habis, keadaannya yang sulit, beban anaknya yang terkapar, dan kuat mulutnya diperkosa oleh rokok-rokok yang bergantian mengirimi kenyamanan lewat asap-asap nikotin. Oh, siapa yang tolol? Siapa yang sadar? Siapa yang manusia?. Apakah benar gejala dua minggu yang lalu, saat pikiran ini mulai muncul, saat sendiri ditengah malam ku pandangi dengan dalam rokok di tangan dan aku seakan akan berpisah dengannya, mungkin aku akan mati atau aku akan berhenti. Dan mala mini pikiran yang semakin kuat pun muncul, kelanjutan dari sebuah proses dan perenungan sebagai manusia merdeka dan ingin merdeka.

    Haji Bakri yang dulu pernah kudengar cerita dari seorang teman tentang dirinya, bangkrut dalam keadaan sakit, seorang perokok berat, dan seorang tolol berbicara kepadanya tentang uang rokok yang bila diakumulasikan sudah mencapai berjuta-juta dan terbebas dari beban sakit paru-parunya, membuatnya makin berpikir dan menyesal, hingga akhirnya dia menyendiri dan mati dalam penyesalan. Bukan! Aku bukanlah orang penyesal dengan apa yang aku lakukan, walau mobil yang bisa ku beli dengan uang rokok inipun aku tak akan menyesal, walau putung rokok ini juga membakar seluruh gudang-gudangku seperti Haji Bakrie hingga bangkrut akupun tak menyesala telah merokok! Walau seperti si tua atau si Kamil yang juga mati, atau siapapun di dunia ini yang menyesal sampai ketulang-belulangnya karena melacurkan dirinya dengan asap tembakau. Aku ingin merdeka, bukankah manusia itu juga memiliki banyak pilihan dalam memerdekakan pilihannya, saat ingin menjadi apapun diapun bebas memilihnya, entah jalan neraka, ataupun jalan surga, asalkan dia puas menjalani hidupnya.

    Sepertinya sudah sang fajar sudah menampakkan biasnya, kemerahan dan perlahan. Aku pun terjebak dalam ujung yang harus ku tentukan, tak terasa sudah satu jam aku menggenggam erat bungkus rokok yang masih banyak isinya, terasa sangat sanyang untu membuangnya, terasa amat memikat untuk menghisapnya, lama dan semakin bingung pikiranku, jantung pun berdetak kencang, langkah ini harus ku ambil menentukan prosesku, sambil gemetar ku kuatkan genggaman tangan, hingga dengan mata terpejam ku remas kuat bungkus, ku patahkan setiap belulangnya hingga tak bisa ku ambil kembali, kecemasan untuk kembali semakin menghantui, dengan beringas kuangkat dan mulai kuayunkan tangan ini ke angkasa menantang bias fajar, untuk melemparkan sisa pelacur ini, untuk mencampakkannya jauh, hingga kebencian inipun yang merubahnya menjadi keiklasan, ya, aku harus dengan sadar, bukan emosi, bukan benci, tapi iklas, perlahan mulutku pun tersenyum, ku turunkan tangan dan bungkus yang tak berguna itu, perlahan ku jatuhkan ke tanah dengan bangga, dengan tenang, dengan damai, dan aku telah merelakannya, aku telah jauh lebih kuat mencampakkannya, tak lagi aku untuk melacur kepadanya.

    Ku tak ada niat untuk berhenti, ku hanya berhasil mencampakkan yang tak semua orang dapat melakukannya, untuk mereka yang telah berlacur ria akan sangat sulit melakkannya, “buat apa? Toh kamu juga tak berhenti”, kata mereka, lalu dengan bangga ku berucap sadar, “aku bukan pecandu lagi”, karena tubuh ini telah baru, jiwa ini tekah baru, pikiran ini juga baru, ada dan tak ada bukan masalah lagi buatku, dan aku hanyalah seonggok tubuh dengan kemerdekaan yang semakin besar, dengan kesadaran yang semakin kuat.
   




    

- Di Penghujung Hisapan Candu

Monday, August 30, 2010

Yogyakarta : Kota Panas



      Udara memang terasa sangat panas, suhu mencapai 36,6'C, apalagi dengan karbon yang dikeluarkan oleh segenap kendaraan yang padat dan lalu lintas pun macet. Bila sejenak berteduh di bawah pohon rindang masih juga terasa hawa panas, sangat berbeda dengan dahulu, cerita para warga sekitar, mereka bilang dahulu dingin, walau pukul 12 siang pun masih terasa hawa sejuk yang turun dari atas pegunungan, kabut dahulu dingin, kabut sekarang tak lebih dari kotoran-kotoran buangan dari sisa pembakaran kendaraan yang lalu-lalang. Memang sedikit tak percaya, apakah benar dahulu dingin, sekrang bukan hanya panas dari terik matahari, tetapi hawa udara juga sangat panas. Inilah Yogyakarta, kota panas.


      Aku duduk di kursi yang mengelilingi pohon di depan benteng Vredeburg, sudah satu jam ku menunggu Hasan teman satu kampungku di Lampung, dia kakak angkatku di SMA dulu yang terlebih dulu melanjutkan study di UGM jurusan Filsafat, sedangkan aku yang baru satu hari disini. Sudah keinginanku dari SMA untuk melanjutkan study di Yogyakarta, tak hanya karena disini banyak Universitas yang bagus, tetapi juga aku ingin sekali belajar budaya dan seni lebih dalam di kota ini. Jujur, aku sendiri masih bingung universitas dan jurusan apa yang ingin aku masuki. Hari ini Hasan berjanji akan menunjukan dan memberi arahan tentang jurusan dan universitas mana yang bagus dan sesuai dengan minatku.

      Hampir saja aku tak mengenali Hasan, tak lagi ku temukan tampang dulu yang bersih dan rapi, kumisnya menjalar tak karuan bersambung dengan brewok, rambutnya juga sudah seperti sosis panjang gaya ala regge tapi kotor dan tak karuan, belum pakaiannya yang kumel dan tak karuan. Sambil ku terperanga kaget tangannya menepuk pundakku dengan keras membangunkan kesadaranku. “Hoi, melamun aja, sory ya, tadi aku ketiduran jadi ngaret dah” kata Hasan sambil kelakar mengingatkanku dengan kelakarnya Mbah Surip almarhum. “Iya ga papa, bearti bener cerita orang-orang kalo mahasiswa Jogja kerjanya suka tidur melulu” jawabku dengan senyum, tak anyal kelakar ala mbah surip pun terdengar kencang melawan bising kendaraan di jalanan.

      Awan tiba-tiba mendung saat kami berjalan menyisir pedagang kaki-lima di Malioboro, begitu banyak barang aksesoris dan batik di sepanjang depan pertokoan, juga sepanjang trotoar tukang becak dan delman menjajakan jasa bagi mereka yang tidak mau lelah menyusuri Malioboro yang panjang. Tepat pas hujan turun, kami terhenti di depan Malioboro Mall, kami putuskan untuk masuk dan bersantai disana. Hasan menawarkan mau menemani jika aku ingin belanja, tetapi aku menyarankan langsung ke Food Corner saja, disana bisa langsung bersantai dan mengobrol tentang teman-teman di Yogyakarta.

      Kami memutuskan duduk di meja tengah karena bisa terlihat semuanya, Food Corner yang dilantai tiga, jadi kami bisa mengawasi setiap orang yang ada dibawah dengan jelas, “siapa tahu tak sengaja menemukan teman sekampung sedang belanja disini” pikirku dalam hati. Tak lama minuman pesanan kami datang, aku dan Hasan pun mulai bercerita dengan hangat ditemani rokok kesukaan kami. “Jadi siapa saja San teman kita yang kuliah disini?” tanyaku memulai pembicaraan. “Wah, banyak Toy, ada Memed yang dulu sering kita kerjain itu, ada Gina anak pak lurah, trus ada juga Sabrina anak Haji Dahlan, masih banyak lagi lah pokoknya” jawab Hasan dengan semangat. Hatiku serasa bahaia ternyata Sabrina anak Haji Dahlan juga kuliah disini, wajahnya yang ayu meluluhkan hatiku sejak dulu, apalagi dia juga sangat alim, didikan dari keluarga sangat relegius, ingin tahu tentangnya maka ku arahkan topic pembicaran ke Sabrina. “Banyak juga ya San, eh, si Sabrina emang kuliah dimana? Masih sering ketemu tidak dengannya?” tanyaku dengan semangat. Ternyata di luar perkiraanku, wajah Hasan langsung lesu sedih saat dia akan bercerita tentang Sabrina, bagaimana tidak, Sabrina sudah berubah 180o, sudah hilang Sabrina dulu yang alim, lembut, ramah, dan bersahaja berganti Sabrina yang sexy, kasar, dan matre. Denger-denger dia sempat stress dan hampir bunuh diri karena mengandung yang akhirnya digugurinnya. Mataku terbelalak tidak percanya, kebanyang muka Sabrina di angan-angan tetap tidak bisa di bayangkan. Ku paksa Hasan untuk terus bercerita, namun dia tidak mengetahui lebih dalam, yang jelas saat ini Sabrina masih kuliah di Universitas Islam Indonesia, Jurusan Hukum.

                                                   *** 

      Hari pertama di kampus kulewati dengan lancer, banyak bertemu teman baru dan suasana kampus yang meriah. Setelah semua selesai aku memutuskan langsung pulang ke kos dan menolak ajakan teman-teman untuk main bilyard. Sesampainya di kos, kunyalakan computer untuk menyalakan musik dan merebahkan diri di kasur, alunan musik kalsik Johan Sebastian Bach mengajakku menghayal menembus langit-langit. Lalu tiba-tiba ku teringat dengan Sabrina, bukankah sekarang aku juga satu kampus dengan dia, setelah mendaftar kesana-kemari aku hanya keterima di Universitas Islam Indonesia fakultas Hukum, tapi belum juga aku bertemu dengan Sabrina, penasaran ingin melihat seperti apakah wanita yang dulu ku kagumi. Lama aku memikirkan hingga semua lelap dalam tidurku.

      Sudah seminggu aku kuliah dan tidak mendapati Sabrina di kampus, pikiran tentang dia pun menghilang. Banyak perempuan baru yang ku kenal, dari semuanya aku tertarik dengan Amelia, perempuan manis dari Jawa Timur, pembawaannya yang tegas dan cerdas membuatku kagum. Setelah selesai jam pertama, aku duduk di depan kantor pengajaran, hingga ada seorang perempuan memanggil namaku dan menghampiriku. “Otoy, kamu otoy khan?” Tanya perempua itu padaku. Aku mengangguk iya, tetapi masih penasaran dengan siapa perempuan ini. “Ini Sabrina Toy, masa kamu lupa” jawabnya dengan tertawa kecil. Aku hampir tak percaya melihat Sabrina yang sekarang, tubuhnya yang dulu kurus ramping kini montok padat di balut pakaian yang ketat, kacamatanya pun sudah tidak dipakainya diganti soft lens warna biru mirip orang Amerika, belum lagi make up yang tebal ala model berbeda dengan dulu yang lebih alami, juga jilbab gaulnya yang membiarkan poni terlihat jatuh hingga tepat di alisnya.

      Lama kami berbincang-bincang, dari situ aku perhatikan dan membandingkan Sabrina yang dahulu dan sekarang, memang benar kata Hasan, banyak sekali perubahan, di hari itupun Sabrina mengajakku mampir di Kosannya di daerah belakang Kampus yang hanya di batasi oleh sungai code. Awalnya aku enggan dia mengajakku ke dalam kamar, tapi akhirnya aku mau juga, katanya hal itu sudah biasa bila lelaki masuk ke kamar wanita, toh dikosan itu juga campur antara wanita dan laki-laki. Sesampainya di kos, tanpa malu Sabrina langsung membuka kerudungnya tanpa malu di depanku, padahal dahulu dia sangat anti membuka kerudung di depan laki-laki, sontak birahiku pun naik melihat dibalik kerudung terlihat bajunya yang sexy hingga sedikit terlihat belahan dadanya. Aku lantas mencoba membiasakan diri seakan tak terjadi apa-apa. Lama kami bercerita hingga sore telah berubah menjadi malam. Takut merasa tidak enak, lantas aku pamit pulang, tetapi Sabrina menahanku, dia ingin mengajakku keluar mencari tempat nongkrong. Aku pun tak kuasa menolaknya.

      Kami akhirnya nongkrong di dekat kedai kofe di daerah Seturan, tempatnya sepi, tetapi cukup nyaman untuk sekedar bercerita. Awalnya aku enggan untuk menanyakan lebih dalam tentang keadaan dia yang sebenarnya, aku ingin dia sendiri yang menceritakan keadaannya. Tetapi rasa ingin tahuku mengalahkan semuanya. “kamu sekarang tambah pintar dandan ya Rin?” tanyaku mengawali topik pembicaraan. Lalu dia tertiam tertunduk, seperti tahu apa yang aku pikirkan. “Aku tahu maksudmu Toy, banyak kok yang bilang begitu, yang katanya aku berubah lah, aku nakal lah, tapi aku tidak peduli! Ini hidupku, siapa mereka mencoba mengatur aku!” jawabnya ketus, aku pun kaget mendengar jawabnya yang ketus dan spontan seperti itu. Aku merasa tidak enak menyakan hal itu, apalagi dia mulai menangis, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tak tahu mengapa, aku manarik tangannya dan memeluk tubuhnya, berusaha unruk menenangkannya.

      Tak lama dia tersedu, mulutnya mulai berucap, dia menceritakan kisahnya, awal dia datang ke Jogja dengan tujuan study, hingga dia mendapat teman-teman yang membuatnya mengenal dunia luar. “Kamu tahu khan Toy, sebelumnya aku belum mengenal apa itu dunia luar, dunia gemerlap, makanya aku penasaran dan mau diajak kedalamnya” katanya sambil terisak di pelukanku. Aku membelai rambutnya yang wangi, tapi mataku masih nakal memandangi paha mulusnya saat dia terkelungkup dalam pelukan, mungkin sama saja dia tidak menggunakan celana atau hanya celana dalam, celalna hotpen itu sangat minim, cepat-cepat aku mengalihkan pikiranku yang kotor ini. Ceritanya berlanjut saat dia berhubungan dengan salah satu laki-laki dikampus, dialah yang merengut kehormatannya secara liar, tak dimunafikkan Sabrina juga mengakui menikmatinya, hingga kehamilan itu harus rela digugurkannya. Aku pun membayangkan, berucap sedih, mengapa anak yang baik dan alim seperti Sabrina bisa seperti ini dengan kehidupan di Jogja. Sabina sangat ketakutan, takut bila kedua orang tuannya tahu akan keadaan yang sebenarnya, dia anak satu-satunya dalam keluarga yang terkenal relegius itu, keluara Haji Dahlan yang sangat tersohor. Malam itu pun berlalu begitu saja, aku mencoba menenagkannya, memberinya semangat dan menasehatinya untuk kembali ke jalannya yang dulu. Hingga kami pulang aku tak berani mengantarkannya kedalam, hanya diluarnya saja, aku tak mau hal-hal lain terjadi diluar kehendakku.

                                                   ***

      Sudah 3 bulan berlalu, aku jarang seklai bertemu dengan Sabrina, terakhir ketemu dia agak berubah dan lebih sopan dalam berpakaian, akupun ikut senang melihatnya, bahkan aku dengar dia juga berpacaran dengan salah seorang anak kampus yang cukup kaya. Akhirnya aku bertemu dengannya saat sedang makan di kantin kampus, dia menghampiriku. “Toy, kemana ajha, lama tidak ketemu, kok gak pernah ngasih kabar ke Sabrin sie?” Katanya sambil merengek. “Engaak juga, aku malah yang jarang melihatmu dikampus, sudah punya cowok baru sieh, jadi sibuk pacaran terus yah” Jawabku sambil kelakar. “Ah, bisa ajha kamu” jawab Sabrina sambil tersenyum nakal, lalu dia pamit melihat pacarnya sudah datang dan menjemputnya.

      Hari itu seperti biasanya sangat panas, mungkin iki sudah masuk musim kemarau, tapi mengingat musim yang tak menentu orang pun susah untuk menegaskan musim apakah itu. Terlihat di berita TV keadaan makin memperburuk dengan gagalnya panen buah para petani, belum lagi masalah dunia tentang pemanasan global. Tak lama temanku datang, kami memang janji akan makan siang bersama di kedai makan Bu Muji. “Hey, tau gosip terbaru ga?” ketusnya ditengah-tengah makan. “Apa?” jawabku dengan santai, aku memang tidak terlalu suka bergosip. “Kamu tahu Sabrina, pacarnya Tomy, dia digosipin hamil Toy, liat ajha badannya yang udah mulai melar” sontak aku berhenti makan, memandang tajam ke arah Rahmad temanku itu. “ Suah Mad, klo kabar belum tentu jelas jangan kamu sebarin, ntar malah fitnah” Jawabku mengakhiri isi pembicaraan. Rahmad memang tidak tahu bila aku satu kampung dengan Sabrina, mungkin bila dia mengetahui, dia tak akan berani mengucapkan hal itu kepadaku. Benar saja apa yang dikatakan Rahmad, Sabrina memang 2 bulan terakhir ini terlihat lebih melar badannya, bahkan dia selalu menghindar bila bertemu denganku, desas-desus makin kencang, dan akupun hanya bisa kasian melihatnya.

      Malam itu aku sendiri di dalam kamar asik membaca Novel Dan Brown yang baru ku beli, hingga ada teman sekampung meneleponku, dia memberi berita bahwa Sabrina menjadi gunjingan warga yang hamil di luar nikah, orang tuanya pun marah besar karena malu, bahkan awalnya tak mau lagi mengakui Sabrina menjadi anaknya. Sekrang keadaan sudah makin membaik, Sabrina sudah dinikahkan, dan orang tuannya juga mulai iklas. Mendengarnya aku terdiam, tertegun dan sedikit merenung, mengapa begitu nasib wanita yang dulu pernah aku kagumi dengan karakternya yang beriman. Lama aku memikirkan hingga Novel itupun aku geletakkan tak terbaca.

      Setahun kemudia aku baru bertemu lagi dengan Sabrina, perutnya sudah tak lagi membesar, sepertinya dia sudah melahirkan, kami ternyata satu kelas, aku meliahatnya dan tersenyum, diapun membalasnya. Setelah selesai, aku mencoba mengjaknya untuk mengobrol di kantin, ternyata dia mau menerimannya. Lama kami saling terdiam, aku hanya memandangi wajahnya, memastikan apakah masih ada beban di raut wajah yang masih cantik tersebut. Tak ada lagi poni itu, tak ada lagi softlens, hanya kacamata tipis yang menghiasi matanya yang tajam. “Namanya Sophie” katanya tiba-tiba, “itu nama anakku Toy, kamu sudah punya ponakan sekarang” katanya lagi sambil tersenyum lebar. “Oh ya, bagus tuh namanya, trus dia sekrang dimana Rin?” Tanyaku ingin tahu,”dia sedang bersama ayahnya, maklum, kamikan sama-sama kuliah dan masih muda, jadi harus saling ngerti dan gantian mengurus anak, yah, walau kadang sedikit cek-sok tapi wajar lah” jawabnya dengan bangga. Lama kami bercakap-cakap, hingga akhirnya aku sadar ada janji dengan Amelia di kos buat mengerjakan tugas, buru-buru aku pamit pulang.

      Dijalan hawa yang sangat panas menyengat kulitku, Yogyakarta memang sekrang sangat panas, tidak hanya udaranya saja yang panas, tetapi hawa-hawa panas juga berkembang liar disini, hawa inilah yang merubah orang seperti Sabrina, dan hal seperti ini adalah wajar kerap terdengar oleh telingaku, bahkan telinga-telianga orang di kampungku. Bila ke Jogja bisa untung, berangkat sendiri, pulang berdua atau bertiga, kata mereka orang kampung sambil kelakar ala Mbah Surip. Tetapi hawa panas juga membuat orang seperti Sabrina harus kuat dan tahan, hingga dia bisa lagi tersenyum puas menerima semua, menahan panasnya jiwa, menatap harapan yang tak berujung. Akupun sudah tak tahan dengan udara panas ini, akhirnya ku putuskan menaiki becak menuju ke kosku.
- Yogyakarta : Kota Panas

Monday, August 16, 2010

Anak-KuJangan-Salahkan-KuMengandung


           Suara pintu dibanting sangat keras, tengah malam, cekcok mulut pun membelah keheningan dan desiran jangkrik, lalu diam, hanya isak-isak kecil tangis manusia terdengar tertahan dari dalam rumah kayu itu. Mata-mata dari balik tirai jendela mengintip, hal yang sering terjadi memang, tapi tak bisa ditolerir menjadi suatu kebiasaan, mencegah dan melerai malah memperparah keadaan, semakin menjadi, semakin membrutal, tak ingin ada korban hanya diam dan mengamati, kuncinya, bila golok atau parang itu mulai bergerak maka baru ikut campur dengan tindakan tegas yang perlu untuk dilakukan. Tak lama sosok lelaki kurus keluar, matanya liar, berjalan gusar ke jalan dengan kaki telanjang, lalu menghilang dalam kegelapan. Dan mata-mata dibalik tirai pun juga menghilang.


                                                  ***

            Matahari terbit dari ufuk timur dengan congkak, jalanan mulai ramai oleh kesibukan dan kepentingan, para ibu juga sibuk menyapu halaman, sambil mengobrol dari sisi rumah yang tak berpagar, kadang saling mendekat dan bergosip khas ibu-ibu dipedesaan, kejadian tadi malam pun tak luput dari pokok gunjingan, tentang Karmi yang kena hantam, oleh tangan suaminya Parman ditengah malam, rasa kasihan kepada kedua anaknya yang selalu ketakutan, luapan dan pelampiasan Karmi yang kesal, sangat malang, umur 6 dan 8 telah menjadi bahan siksaan, bahkan larangan bermain diberlakukan, untuk menemani sang ibu sepanjang waktu yang selalu ketakutan. Sudah lama Karmi terbangun, matanya melihat dinding-dinding kamar yang mulai lapuk dimakan rayap, sebentar-sebentar dipandanginya wajah kedua anaknya yang berada disebelah, terlihat bulu-bulu matanya mengeras karena sisa-sia air mata yang mengering, begitu juga pipi mereka membekas aliran air mata, saksi ketakutan tadi malam, belum pipi membiru keduannya tanda luapan emosi sang ibu, lalu, begitu polos keduannya saling berpelukan dan melindungi dalam keadaan tidur. Karmi takut untuk beranjak, takut melihat mata dari tubuh kurus itu, takut melihat rumah yang berantakan. Dirinya pun sadar, sebagai ibu rumah tangga tak ada gunanya tanpa ada bahan makanan, tak ada kegiatan selain memasak, lalu menyiapkannya untuk kedua belahan hati. Tak lama, pikiran yang kalut itu tersentak dengan ketokan pintu dan suara ibu-ibu tetangga yang berkunjung, dengan ragu Karmi pun beranjak dan membuka pintu.
            Ruangan rumah menjadi riuh, ibu-ibu membawa beras dan makanan, mereka seakan menebak bahwa Karmi tak memiliki sesuatu apapun untuk dimasak, masih beruntung hidup dalam suasana pedesaan, saling mengerti tanpa diminta akan kebutuhan tetangganya, walau diawali dengan suatu gosipan toh ada kebaikan terselip lewat tindakan nyata, beruntung tidak ada tembok-tembok tinggi yang menghalangi, untuk saling mengerti, untuk saling berbagi. Memang kampung itu masih alami, belum ada aspal batu jalan, hanya ada beberapa rumah yang sudah menggunakan batu-bata, sepanjang pemandangan hanya rumah sederhana dengan halaman tanah. Para ibu-ibu menenangkan Karmi yang mulai menangis meratapi dan mengutuk nasibnya, merangkul, memeluk dan mengusapkan air matanya. “Kamu harus kuat Mi, ini hanya cobaan sementara, memang suamimu sekarang sedang kacau, kami tahu dia sedang bingung memikirkan keluarganya yang terus kekurangan” kata Bu Marti yang adalah istri RT setempat. “Iya Mi, kita semua sedang paceklik, suamimu sebagai buruh bantu di sawah juga tidak bisa mendapat uang karena gagal panen, lihatlah, air sungai meluap sampai menutup semua sawah-sawah” timpal Bu Parji tetangga sebelahnya yang selalu melihat dan mendengar bila Parman dan Karmi mulai cekcok. Diantara semua penduduk kampung, hanya keluarga Karmi lah yang tidak mempunyai sawah, oleh karenanya, Parman suaminya bekerja sebagai buruh sawah membantu para petani yang lain. “Terimakasih ibu-ibu, saya tak tahu bagaimana harus membalasnya, karena dorongan ibu-ibu saya masih bertahan menghadapi semua ini, walau sebenarnya ingin mati saja daripada melihat dan meratapi nasib seperti ini” jawab Karmi dibawah pelukan Bu Marti yang hangat dan menenangkan seperti pelukan ibunya.
            Kini Karmi sendiri melihat tumpukan beras dan makanan diatas meja, anak-anaknya terbangun, tetapi masih takut dan hanya berdiam diatas kasur, begitu banyak beban pikiran mengawang, tentang bayangannya sewaktu gadis, memiliki rumah tangga berkecukupan, menyekolahkan kedua anaknya hingga tinggi, mengapa kenyataan tak seperti film yang sering ditontonnya dirumah Bu Marti?, bahwa selalu ada pertolongan, selalu ada jalan, ataupun seorang kaya raya menolong dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluargannya. Karmi melihat kedua mata anaknya yang masih ketakutan, dan ketakutan baginya saat tahu bahwa anaknya akan sangat menyesal dilahirkan dikeluarga yang amat miskin, dengan banyak hutang disana-sini, tak dapat menyekolahkannya. “Kemarilah nak, ibu tak akan memukul kalian, sinilah, lihat, ada makanan, ayo makanlah, bukankah kalian lapar sejak kemarin belum makan” Kata Karmi kepada kedua anaknya. Dengan ragu-takut kedua anaknya, Bambang si bungsu dan Hanif  yang tertua mendekati makanan seraya terdiam dan tertunduk, tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka, toh akhirnya mereka dapat mengenyangkan perutnya, tidak seperti hari kemarin, rengekan-tangisan kelaparan mendapat makanan berupa tamparan dan cubitan keras dari ibunya. Setelah kenyang, sang ibu pun mengaisi sisa makanan itu untuk sedikit mengganjal perutnya sampai nanti sore hingga dia dapat mengolah beras dari para tetangga.
            Malam Parman pulang, wajahnya begitu lelah, dia melangkah dengan menyeret kedua kakinya, tak sepatah katapun keluar, lalu duduk dikursi. Karmi mengamati dari bali tirai kamar, badan yang sangat kotor, muka penuh memar, “apa yang telah terjadi pada suaminya?” pikirnya dalam hati. Sejenak Parman menutup matanya, nafasnya masih tersengal-sengal, dalam bayangannya muncul kembali segala kemurkaannya, pada kesialan nasibnya yang miskin, hingga halal dan haram pun menjadi hal yang susah untuk didapat, mengapa dia masih selamat dan dilepaskan saat mencuri ayam dikampung sebelah, “hey, kasian dia si Parman yang miskin dari kampung sebelah, sudah lepaskan saja, dia juga sudah mendapat ganjarannya” kata salah seorang warga di kampung sebelah, di pasar pun berkeliling berjam-jam tidak ada yang membutuhkan kuli panggul. Oh, mengapa sekarang begitu susah mencari kerja di kampung, sudah cukup malu mukannya setiap hari menerima bantuan warga setempat, di kotapun dia tak yakin menjadi lebih baik, kaum miskin kota lebih sengsara daripada di desa, hutang juga sudah menumpuk entah kapan dapat membayarnya.
            Parman mengangkat kakinya keatas kursi, dia bongkokkan tubuhnya hingga perutnya melipat kedalam, caranya untuk menahan lapar, sebagai lelaki rumah tangga dia lebih menderita melihat keluarganya tak makan daripada dirinya sendiri. Karmi keluar dari balik tirai, tanpa bicara apapun dia berjalan kearah dapur dengan mata tertunduk kelantai, lalu mengambil nasi dan meletakkannya di depan suaminya yang kelaparan. “Anak-anak tadi sudah makan, ini dari para tetangga, hanya ada nasi” kata Karmi sambil beranjak ke dapur mengambil air putih. “Oh Tuhan, apakah tak ada gunanya lagi aku sebagai lelaki jika tak dapat menafkahi keluargaku” Kata Parman sambil menutup wajahnya dengan tangan, meratapi nasibnya. Karmi kembali dengan membawa segelas air, dia tak berucap, masih takut dengan keliaran suaminya secara tiba-tiba, bahan lampiasan kekesalannya kepada nasib, dan dia tak ingin anak-anaknyalah yang menjadi korban kekesalannya. Sambil terdiam Karmi langsung masuk kedalam kamar, merengkuh kedua anaknya, dan malam itu terlewati dengan keheningan tanpa ada suara tangisan dan teriakan.


                                                  ***
            Seminggu masih kelam, satu-satunya perbedaan hanyalah sinar mentari yang tertutup awan hitam, mendung yang padat, tapi tak kunjung turun hujan. Parman mengepak perkakas rumah yang layak untuk dijual, untuk makan, kursi-meja dan lemari telah hilang, kini apalagi yang bisa terjual, harga diripun telah hilang demi hilangnya lapar. Karmi bermain dengan anak-anaknya, hari ini dia ingin membuat indah, tanpa marah, tanpa pukulan, menyadari segala kekejamannya, tapi anak-anaknya pun berasa enggan bercanda dengan sang ibu yang telah lama berubah menjadi sosok jahat dan gila pukul, ditambah kengerian melihat sang ayah memukul ibunya, alasan takut jugalah yang membuat mereka mau bermain dengan ibu. Parmin keluar dengan membawa perabotan sisa yang dapat dijual, memang barang-barang mereka tidaklah bagus dan hanya bisa terjual murah, hidup di kampung miskin juga menambah harga semakin murah, ditambah dengan musim paceklik.
            Hari semakin sore, Parman belum juga pulang, memang bila menjual barang agak susah, juga Parman pasti langsung membelikannya bahan kebutuhan pokok. Karmi pun memandikan anak-anaknya, lalu setelah semua pekerjaan rumah beres dia baru memasak lagi. Semenjak keadaan semakin memburuk, Karmi membiasakan tidak memberi makan kedua anaknya di waktu pagi, untuk menghemat dia menyiasati makan dua kali sehari, tak ada sarapan, hanya makan siang dan sore, sedangkan malam tidak ada, bila kedua anaknya merengek lapar, dia dengan paksa menyuruh keduanya tidur. Hari itu pun seperti biasanya, yang berbeda hanya Karmi selalu tampak ceria di depan kedua anaknya, selalu tersenyum, hingga sore itu pun kedua anaknya mulai nyaman dan bahagia menemukan ibunya yang dulu telah kembali. Mendung dari tadi siang sore itu berubah menjadi gerimis, saat memasak Karmi menyuruh kedua anaknya bermain di dalam kamar, tak perlu membantu atau menemaninya seperti biasa. Memang agak aneh, yang terpenting adalah anaknya bisa senang kembali, bermain dan berloncat-loncat di kasur yang sudah reot dan terus berdenyit.
            “Mari nak, ini makanannya sudah siap, ayo makan yang banyak, sengaja ibu memasak banyak hari ini” seru Karmi keanak-anaknya. Tak anyalpun mereka loncat kegirangan, “akhirnya” pikir mereka. “ Ayo, cuci tangun dulu sana di sumur, jangan jorok, nanti sakit” kata Karmi sambil tersnyum, mereka pun dengan senang hati mengikuti, demi makan besar.  Tak lama, mereka bertiga memakan-makanan dengan lahap dan bersemangat, berpuas-puas ria. “Habiskan semuanya ya” kembali Karmi menyeru ditengah-tengah suasana makan. Sangat indah Suasana dirumah itu, walau mendung sepanjang hari dan gerimis hujan turun merangkai melodi.
            
        Dengan semangat Parman pulang kerumah, hari yang beruntung pikirnya, setelah sore dagangannya belum laku juga, tetapi tiba-tiba ada pembeli yang memberi harga cukup bagus, sangat jarang hal ini terjadi di musim paceklik. “Pasti itu orang baru” pikirnya dalam hati. Tak lupa, Parman juga membeli banyak beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya yang cukup untuk tiga minggu kedepan, tak sabar dia walau ditengah gerimis dengan mantab melangkahkan kakinya pulang kerumah.
            Diluar pintu rumah Parman dengan kegirangan berteriak-teriak memanggil istrinya, tak ada lagi percecokan malam ini, sebenarnya dia hanya butuh bahan makan untuk dua minggu kedepan, karena sudah ada tetangga yang akan menjanjikan pekerjaan di minggu ketiga, hanya saja dia tidak memberitahukan kepada Karmi, sebagai kejutan pikirnya bila dia tiba-tiba kerja kembali. Berkali-kali Parman mengetuk pintu, sang istri tak juga membukakannya. “Hmm, mungkin mereka tertidur” pikirnya dalam hati. Lalu Parman berputar lewat pintu belakang melalui dapur, pintu belakang memang jarang dikunci.  Di dapur Parman menaruh beras dan bahan kebutuhan, keadaan dapur masih berantakan, wajan dan perkakas masak tidak dibereskan Karmi setelah memasak, dibiarkan kotor dan berserakan. Parman mencoba menahan emosi, dia tak mau membuat suasana hatinya yang senang menjadi kacau oleh hal sepele seperti ini. Lalu dia bergegas menuju ruang tengah yang biasanya digunakan untuk makan, mulutnya tertahan dan matanya melotot bak kesetanan, tubuhnyapun kaku, kemudian lemas berjalan sempoyongan kedepan, kaki itupun tak sanggup lagi menahan dan jatuh berkalang ke lantai yang masih dari tanah, matanya meredup dan mengeluarkan air mata, mulutnya mulai bergeming tak karuan, dan sontak teriak lantang menggugah tetangga untuk segera bergegas melihat.  Parman merengkuh dan memeluk sosok tubuh yakni Karmi yang sudah tergeletak, disampingnya juga anak-anak mereka dalam keadaan yang sama, dari mulut mereka keluar busa dan mata melotot, terlihat juga makanan yang belum mereka habiskan berserakan di lantai. “Karmi!!! apa yang terjadi! Kamu kenapa Karmi!” teriak Parman histeris pada tubuh yang sudah tak bernyawa itu ,kemudian seperti teringat sesuatu Parman beranjak dan berlari kearah dapur, dicarinya racun serangga yang ditaruhnya didalam botol dan tersimpan dibalik kendi beras, “Oh gusti!! Maafkan hambamu ini” seru Parman yang mendapati botol yang awalnya penuh sekarang sudah tak tersisa sama sekali. Tangannya mengepal, menghantam setiap benda di dapur seperti kesetanan, beras yang baru dibelinya pun dilempar keluar, basah dan kotor bercampur air dan tanah, dihantamkannya kepala ke pilar kayu, diambilnya parang dan dicacahnya semua yang ada di depan mata, warga menyadari apa yang terjadi, mereka lekas berdatangan, Parman pun sudah sangat kesetanan, mereka mencoba menenangakan tapi tak sanggup, Parman sepertinya sudah benar-benar gila, dia bahkan menanggalkan pakaiannya, lari keluar rumah, dipelataran dia mulai teriak-teriak sendiri tak karuan, menantang sang alam, menantang Tuhan, mengutuk semua yang ada, lalu berlari menghilang ditelan hari yang mulai petang, dibawah gerimis yang berubah menjadi hujan, dihari minggu yang memilukan.
           


*untuk mereka yang meretas nyawanya dan anak-anaknya yang tak kuat melawan kejamnya dunia
- Anak-KuJangan-Salahkan-KuMengandung

Thursday, August 12, 2010

Ramadhan Ya Ramadhan


  Solihin memasuki rumah dengan perlahan, dia tidak ingin ada yang melihatnya masuk dalam rumah, dengan mengendap-endap dia masuk dalam kamarnya. Segera ia mengunci pintu dan berbaring lega sesaat diatas kasur untuk bernafas karena letih. Sungguh tidak enak rasanya bila kedua orang tuanya tahu dia berada dalam kamar. Perlahan dia mengeluarkan makanan-minuman dari dalam ransel yang dibelinya di pasar, tak lupa rokok kesukaannya juga menemani siang itu. Dengan santai dia menyalakan rokok dan menghisap perlahan dengan nikmat. Sembari membenarkan senderan diatas kasur, Solihin menyalakan televisinya, tangannya pun sibuk silih berganti antara remote-rokok-makanan-minuman. Dalam sekejap, ruangan kamar menjadi sumpek dengan asap rokok.
            Merasa bosan, Solihin mematikan televisinya, memang acara hari ini begitu monoton, hampir setiap chanel menyiarkan hal serupa, bertema Ramadhan. Ya, hari ini adalah awal Ramadhan, dan setiap orang muslim adalah diwajibkan untuk berpuasa, bulan dimana berkah dan pahala melimpah ruah, menggerogoti setiap dosa-dosa, mengembalikan jiwa kedalam fitri, membelenggu semua nafsu setan dalam iman, menuju insan manusia yang tawaqal. Mata Solihin menerawang ke langit-langit, mencari setiap celah kehidupan, makna yang tersirat diantara kepulan asap rokok, seperti kunang-kunang, pikirannya pun melayang bebas memenuhi setiap sudut ruangan.
            Adalah Khosim ayahnya, yang selalu bercerita tentang betapa soleh dan rajinnya sewaktu remaja kepada Solihin putranya. Begitu besar harapan Khosim kelak Solihin menjadi orang yang bertaqwa dan membela agamanya. Untuk alasan itulah, Solihin anak semata wayangnya sudah dimasukkan kedalam pesantren. Harapan yang selalu keluar dalam setiap obrolan malam, harapan yang terekam lewat kerasnya rotan saat Solihin melakukan kesalahan, harapan yang menjadi beban bagi jiwa yang mencari dan mendambakan kebebasan, harapan yang memaksa kebohongan demi senyuman ayah yang lebar. Sejenak matanya pun terbenam dalam kelopak, diantara kegelapan ada wajah sang ayah tersenyum, bangga akan dirinya, duduk bersama sebagai manusia dewasa, kemudian saling bercerita tentang indahnya surga bila dapat berkumpul bersama. Do’a pun terucap lewat mulut Solihin, mohon keselamatan dan kesejukan hati untuk sang ayah.
            Matanya terbuka karena seakan-akan merasakan belaian bundanya, Anisah namanya. Solihin sangat hapal akan sentuhan itu, sentuhan yang membangunkannya untuk solat,  belaian bunda sangat keras, sama seperti kerasnya sikap kepada anaknya. Sholat adalah hal utama, tidak ada alasan untuk meninggalkannya, “ingat nak, solat adalah tiang agama, tanpa tiang itu maka rubuhlah agamamu, saat rubuh, maka rubuh jugalah imanmu, dan semakin jauhlah kamu dari Tuhanmu, dan manusia tak lain di ciptakan hanyalah untuk beribadah nak, jangan kamu melupakan itu, karena sama menyakiti hati bundamu, yang telah melahirkanmu, yang telah dititipi kamu, apakah kamu ingin melihat bundamu kelak disana sengsara karena ulahmu, kasianilah bundamu dan bahagiakanlah dengan ibadahmu” itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut bunda, orang yang paling disayanginya. Bunda tak pernah letih dan cerewet dalam mengingatkan Solihin, itulah bukti kasih sayangnya, yang selalu mengingatkan lewat kata-kata dan kerasnya belaian tangannya.
            Tanpa terasa Solihin sudah menghabiskan 5 batang rokok dimulutnya, sambil lemas lunglai dia duduk diatas kasur, menghadap ke arah cermin didepannya, matanya tajam melihat sosok Solihin dalam cermin, kedua tangannya membelakangi kepala lalu mencambak rambutnya sendiri, matanya tertunduk melihat lantai, seperti sedang ada perang dalam pikirannya, lalu dengan tergopoh di berdiri berputar-putar didalam kamar, dari mulutnya seperti mengatakan sesuatu, tapi hanya dia sendiri yang mengetahui, dan akhirnya duduk kembali diatas kasur seraya menatap diri dalam cermin. Dia berbicara dengan bayangannya dicermin, dia mencaci, dia mengutuk, dia memuji, dan dia membenarkan.  Sadar pikirannya sedang kalut, dia kembali menghisap rokok dengan pelan, membaringkan kepala di sandaran bantal, mencoba rileks. Lalu dia tersnyum, membayangkan masa kecilnya yang polos, dia ingat betul betapa rajin dan tagwanya dia, bahkan dengan gampang dia berani menghardik orang-orang yang tidak menjalankan ibadah, orang-orang yang dianggapnya sesat. Masa remaja adalah masa dia mulai tak nyaman akan semuanya, dia harus berontak mencari hal baru yang belum pernah ditemui, bahkan membantah kedua orang tuannya. “Proses, inilah proses hidupku” gumam Solihin. Dengan keras dia mencoba memaknai setiap prosesnya, mencari alasan dalam setiap fase perubahan hidup dan perilaku.
            Kembali Solihin memandang sudut ruangan yang sudah semakin samar, asap rokok mengepul dan memenuhi setiap sudut ruangan tanpa tersisa, dia tak ingin membuka jendela, letak kamarnya yang berada ditengah ruangan rumah, tak terbayang saat dia membuka pintu atau jendela asap rokok langsung berhamburan keluar seperti gunung berapi menyemburkan abunya. Solihin tertawa kecil membayangkan ekspresi kedua orang tuanya bila melihat hal ini “hahaha…mungkin kalian akan membuang ataupun membunuh wahai ayah-bunda” kata Solihin dalam hati. Terlintas dalam benaknya untuk menulis proses kehidupannya hingga saat ini, lekas dia mencari pena dan kertas diantara rak-rak buku yang tak beraturan. “Ini adalah kisah dan sejarahku, dan aku harus mengabadikannya” Gumamnya dibarengi senyum puas.
            “Inilah kisah hidupku, sesuatu yang akan menjadikan siapa yang membacanya semakin mengenal siapa aku. Tahukah kalian, orang tuaku pun tak seberapa mengenal aku, teman-temanku pun tak seberapa mengenal aku, mereka yang tau proses hidupku tapi tidak memahamiku jangan berharap mengenal aku, seperti kedua orangtuaku. Tapi heran, mereka sangat yakin mengenal aku, dan mereka dengan tegas mengatakan “kami tahu apa yang terbaik untukmu, wahai anakku, karena kami sangat menyayangimu”. Tapi bagaimana mereka tahu saat aku sendiri yakin mereka sangat tidak mengenal aku, tahu akan kebutuhanku, bahkan cita-citaku, apakah aku tidak diperbolehkan menjadi manusia seutuhnya dengan menentukan pilihanku sendiri, bukankah ini hidupku, bukan hidup mereka, agak egois dan arogan memang, karena akupun masih menumpang hidup baik tempat maupun materi pada mereka, yah, tapi dibalik sanubari ini aku ingin bebas dalam mencari jalan hidupku sendiri.
            Sewaktu kecil, aku sangat kuat di doktrin oleh agama, bahkan aku dengan tegas menolak pemikiran agama lain, dan aku sangat yakin apa yang diajarkan oleh setiap guru-guru atau orang yang kuanggap tahu akan agama, waktu kecil, waktu masih polos, dan aku menjadi seorang fundamentalis, yang siap marah dan gerang dengan semua yang kuanggap menyimpang. Menegasikan semua yang diluar pemikiran dan kepercayaanku. Norma dan nilai agama yang ditanam dalam diriku sangat kuat, aku merasa lebih baik dari setiap teman-temanku dalam hal beribadat, dan aku sangat bangga akan hal itu. Tapi aku tak sadar bahwa doktrin tersebut adalah konservatif atau kolot, aku sangat fanatik. Hal yang wajar menurutku.
            Di usia remaja aku bertemu dengan teman baru dan kehidupan baru, walau masih dalam lingkungan pesantren, tapi sangat berbeda rasanya, mungkin dalam lingkungan ini banyak juga kutemui dan berteman dengan mereka yang berontak dan nakal, aku berada ditengah-tengahnya. Pikiranku pun semakin liar, baik dalam hal kepercayaan dan konsep agama itu sendiri. Aku mulai tidak hanya belajar tentang apa itu ibadah, tapi juga tentang spiritual, yakni diluar dalam konteks agama, mencari cara lain ketengan dalam meditasi dan perenungan, bukan hanya dengan Sholat. Pemikiranku semakin liar saat aku banyak membaca buku-buku aneh, pemikiran dan pola pikirku pun berbeda dengan kebanyakan remaja seusiaku, semakin kompleks, semakin melayang. Eh, dimanakah aku? Kenapa aku mulai tidak nyaman bergaul dengan mereka, mereka seperti selalu mebicarakan hal-hal yang monoton, aku butuh pengalaman baru, aku butuh ilmu baru, aku semakin jauh dengan teman-temanku, walau aku berusaha menyembunyikannya, karena aku sendiri takut dianggap aneh dan tak waras karena tak sesuai dengan pola pikir mereka.
            Begitu banyaknya pengalaman ku waktu remaja, akupun sudah mulai mengerti seperti apakah pola pikirku ini, aku mencoba mengendalikannya untuk bergaul lebih luas, aku bergaul dengan mereka diluar lingkunganku, aku bisa masuk hampir dari semua kalangan, anak kecil hingga orang tua, kaya raya hingga papa. Dari situlah muncul jiwa sosial yang tinggi dalam diriku, orang tuaku sendiri menyadari hal itu. Dia melihat kemunduranku dalam beribadat tetapi kemajuanku dalam rasa sosial yang semakin tinggi. Bukankah dulu ayahku sering bilang untuk membantu sesama apalagi mereka yang kekurangan. Tetapi mereka sendiri khawatir melihat aku yang selalu bergaul dengan orang yang jauh lebih tua dariku, aku sendiri heran mengapa aku lebih nyaman dengan mereka daripada dengan teman sebaya? Apakah kalian juga merasakan hal yang sama? Ku harap aku tidak merasa sendirian mengalami ini. Aku mulai mengenal toleransi dengan sedikit paham akan ragam kepercayaan, aku mulai mengenal pluralisme saat aku berani mengatakan “aku merasa benar dengan yang aku percayai, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama, dan kebenaran adalah apa yang kita yakini dan percayai, walau kadang kebenaran itu berubah saat kita mengetahui kebenaran yang lain”. Aku semakin kompleks, semakin ceroboh, semakin hidup dan yang jelas semakin hancur juga namaku dimata keluarga, mungkin karena tindak-tandukku yang mulai liar. Oh ya, sekarang aku sadar, dari kecil aku diajarkan tentang kebaikan, dan semua selalu dihubungkan dengan kebaikan, dengan norma, dengan aturan, tanpa ada yang mengajariku mengenal apa itu keburukan, apa itu penyimpangan, yang memaksaku untuk mengalaminya sebagi proses hidupku. Dan tindakan menyimpang yang dulu aku benci dimasa kecilpun di waktu remaja menjadi sangat familiar dan aku lakukan, meminum-minuman keras, bersumpah serapah, lalai beribadat dengan sengaja, dan lainnya.
            Apakah kalian pernah membayangkan diri kalian adalah Tarzan? Bisakah kalian tahu apa itu peradaban, apakah masih kalian makan menggunakan sendok, mengenal norma, mengenal agama, bahkan mengenal Tuhan. Dimasa proses pendewasaan aku mulai mengolah pola pikir rasional ini, mungkin seperti pada zaman Revolusi Perancis yang orang sangat mengagungkan pemikiran yang rasional, hingga hukum kita pun sangat rasional, sesuatu yang tidak rasional pun tidak bisa diterima. Dimasa ini aku membenci segala hal yang berbau tahayul ataupun mistik, aku membayangkan diriku murni tanpa ada embel-embel apapun, baik latar belakang maupun kepercayaan, dan aku menanyakan pada bayangan dicermin mau kemanakah aku ini? Aku sadar hak dasar manusia yang sering dibenci adalah dia sebagi mahluk individu mempunyai otoritas akan dirinya, hingga yang lain pun aku tidak peduli. Aku mulai menyukai ilmu filsafat, membuatku menghayal-hayal tinggi, pikiranku bebas dan aku selalu mempunyai arti. Hey, bukankah filsafat adalah mencintai kebijaksanaan, dan sebagai manusia kita harus bijaksana, karena seperti kata Aristoteles kita adalah zoon politicon, mahluk sosial (disamping kita juga mempunyai otoritas sebagai mahluk individu), dan bukankah bila melihat kalam kita selalu diingatkan untuk berpikir dan menggunakan akal, yakni mencari ilmu pengetahuan. Akupun basah dalam filsafat yang berhasil mengotak-atik pikiranku, tapi aku harus tau diri akan batas kemampuanku, aku harus mengendalikan hingga aku tidak bingung, malah bisa menjadi aneh, walau memang aku sudah di cap aneh saat mengembangakn pola pikir ini. Tapi disisi lain, aku sangat puas, sangat hidup, sangat berarti, aku sangat mengerti kebutuhan dan hasratku. Sebagai manusia aku pun menyadari segala daya keterbatasaan dan memaksimalkan kemampuanku”.
            Sejenak Solihin menghentikan menulisnya, dia menyulut kembali rokok dan meminum minumannya, membiarkan pikirannya rileks sejenak.”Hhhh…” Solihin mengembuskan nafas, dengan tersenyum dia memandang dan membaca kembali tulisannya.  “ Sebenarnya ini kisah yang panjang, susah juga untuk meringkasnya hanya menjadi beberapa lembar, mungkin bagus juga bila dijadikan sebuah novel” pikir Solihin, matanya menerawang kembali ke langit-langit dan tersenyum membayangkan bila sejarahnya dijadikan Novel mungkin bisa terkenal, malah bisa menjadi monumental seperti penokohon Romeo dan Juliet kaya Shaksespare. “Hahaha…ah, hayalan ga penting, ga mungkin..tapi lucu juga” gumam Solihin sambil terkekeh, dan melanjutkan tulisannya.
            Semakin banyak tahu dan banyak membaca, kehidupan ini seperti bolak-balik yang tidak karuan, yang remaja aku sempat tidak percaya tahkayul, kini kembali percaya, yang dulu aku berpikir rasionalis kini berpindah ke empiris, semua kadang membingungkan, tetapi bagiku menarik karna aku sendiri tidak statis. Tetapi satu hal yang kadang membuatku “muak” kepada diriku sendiri, aku tidak dapat membohongi diri sendiri akan kekecewaanku terhadap agama!. Mari kita bercerita mengapa itu semua bisa terjadi. Dulu aku mengaitkan segala sesuatu terhadap rasio pikir, bila itu tidak dapat ditangkap oleh daya pikirku, maka aku tak wajib mempercayainya, bahkan bisa menolaknya, mungkin bisa dibilang saat itu pikiranku sangat positivis, aku belum dapat melihat realita, bahwa ada energi-energi yang lain dibumi ini, seperti kemanakah energi manusia saat ia mati? Mengapa banyak manusia di lingkungan kita mencari-cari sesuatu yang magic? Memberikan persembahan? Dan itu telah lama beruntun dari jaman nenek moyangnya, apakah itu suatu tradisi atau budaya semata? Ataukah memang hal itu memberikan dampak dalam kehidupan nyata? Yang jelas, aku mulai mencurahkan segala pemikiran dan analisiku kedalam kehidupan realita, bahwa hal itu ada, bahwa yang magic mempunyai exsistensinya sendiri, bahwa banyak diantara manusia mengalami pengalaman-pengalaman ghaib yang tidak bisa dikaji secara nalar. Seperti halnya saat kita membicarakan tentang teologi, dimana seperti yang dikatakan Hasan Hanafi, bahwa itu bukanlah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan, melainkan ilmu yang mempelajari tentang kalam atau kitab Tuhan, bahwa Tuhan hanya bisa dibuktikan ketika manusia itu sendiri mengalami suatu pengalaman spiritual.
            Kemudian, tentang agama. Muhammad menarik umat kejalan yang benar dengan menjanjikan kesejahteraan bagi pemeluk agamanya, dimana harta adalah titipan, dan pada dasarnya adalah fungsi sosial, hingga kita mengenal zakat bukan semata-mata untuk mencari pahala melainkan juga untuk saling menyejahterakan hingga tak ada lagi yang kelaparan dan kekurangan. Bukankah agama diturunkan untuk membantu manusia dan menyelesaikan semua persoalan manusia hingga manusia bisa nyaman, tentram dan adil baik dalam bidang kesejahteraannya. Tetapi sekarang, agama sering digunakan sebagai alat! Ya alat dalam merebut kekuasaan, alat untuk melegitimasi setiap kesalahan dan ketidak adilan, alat untuk kekerasan dan membunuh, dan saat aku menulis ini, bulan  suci, Ramadhan, begitu sengsara umat miskin saat harus menanggung lapar-dahaga juga menanggung biaya hidup yang mencekik. Hello…katanya ini Negara kaya? Berarti kita donk yang tidak bisa menjaga amanat dari Tuhan yang memberikan kekayaan alam melimpah? Dan disana-sini orang masih arogan dalam beragama, masih merasa benar, masih siap mengangkat pedang untuk membunuh sodaranya? Astaghfirullah.
            Aku sendiri semakin marah, dulu pada jaman Socrates, Plato, Aristoteles, meraka tidak mengenal konsep surga-neraka atau hari pembalasan, mereka menggunakan filsafat sebagai jalan hidup dan beretika untuk memenuhi kebutuhan dan dinamika sosial mereka, saat ajaran monisme atau agama berkembang, manusia sebetulnya sudah tidak membutuhkan lagi filsafat, karena sudah mempunyai pegangan masing-masing dalam kalamnya, tetapi apakah hal itu benar-benar digunakan? Iya kawan-kawan, ini adalah curhatanku, dan kuharap ada diantara kalian yang mau mendengar keluh kesahku. Dan ini akan menjadi keluh kesah kalian nantinya. Melihat hal inipun, Nietczhe melakukan protokol Tuhan telah mati, Karl Marx menegaskan agama adalah candu, tapi apakah itu benar dari hati mereka? Eric Fromm membela Marx bahwa dia bukanlah orang yang tak menghargai agama atau kepercayaan, malah sebaliknya? Suatu kesadaran masyarakat adalah ditentukan oleh faktor ekonominya (ingat bagaimana Muhammad menjanjikan kesejahteraan), sehingga apabila kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi dengan baik, maka mereka akan nyaman dan tenang saat melakukan ibadah dan menjalankan akidah agamanya dengan baik pula. Masih ingatkah kalian diluar sana orang miskin mau melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan makannya, memikirkan kebutuhan spiritual dengan Tuhannya pun terbaikan. Dan bulan Ramadhan ini adalah bulan yang suci dalam agama, membawa berkah, tapi mengapa orang malah berteriak karena harga pangan pokok semakin melambung tak karuan? Apa yang sebenarnya terjadi, pembaca yang arif bisa menafsirkannya sendiri”.
            Solihin kecapean, tangannya letih menulis, dia merebahkan dirinya diatas kasurnya yang empuk, sambil membayangkan apa yang akan dan telah ia tulis, tak mungkin semua yang ada dipikirannya dia tulis semuanya, akan sangat banyak dan berlembar-lembar, bila dengan teliti bisa menjadi buku malah. Tiba-tiba dia membayangkan wajah-wajah, wajah perempuan yang sempat dia suka, tak dipungkiri perempuanlah salah satu yang membuat dia berkembang, dia sangat menghargai perempuan, bahkan dia tidak berani melihat bila ada perempuan menangis, jiwanya sangat keras, tetapi hatinya juga sangat lembut. Bukankah dibalik kekerasan ada kelembutan kasih, seperti kerasnya belaian tangan bunda Solihin adalah kelembutan cinta sang bunda kepada anaknya. “Oh perempuan, kalian memang hebat, sayang banyak diantara kalian tidak menyadari kehebatan kalian” pikir Solihin. Kemudian, dalam bayangannya segala keindahan-keindahan yang pernah dilaluinya,” hey, kenapa yang menurutku indah dan susah untuk dilupakan adalah saat-saat susah, hmm…berarti kesusahan bisa menjadi kenangan indah dimasa depan, berarti ga ada alasan untuk takut pada kesusahan atau masalah” pikiran Solihin mulai ngawur tidak menentu, caplok sana-caplok sini. Masih banyak yang mau ditulis Solihin, maka ia meluangkan waktu sejenak untuk beritirahat.
            Solihin baru sadar, rokok satu bungkus telah habis, makanan-minuman pun habis, ditambah lagi karena kebanyakan makan dan minum dia ingin ke kamar kecil. “wah sial, mau buang hajat kok malah habis rokoknya” gerutu Solihin. Saat dia bangkit dari kasur telah terdengar suara adzan maghrib, tanda berbuka. Tapi sayang, Solihin pun lupa sekarang hari pertama puasa, mungkin karena pikirannya terfokus pada rokok yang habis dan mau buang hajat, sontak saat dia membuka pintu kamar, bak asap gunung merapi meletus keruang makan yang berada di depan kamarnya, dari balik bayang-bayang kepulan yang berhambur keluar kedua orang-tuanya berdiri dengan senyum yang dipaksakan.

- Ramadhan Ya Ramadhan