Thursday, August 12, 2010

Ramadhan Ya Ramadhan


  Solihin memasuki rumah dengan perlahan, dia tidak ingin ada yang melihatnya masuk dalam rumah, dengan mengendap-endap dia masuk dalam kamarnya. Segera ia mengunci pintu dan berbaring lega sesaat diatas kasur untuk bernafas karena letih. Sungguh tidak enak rasanya bila kedua orang tuanya tahu dia berada dalam kamar. Perlahan dia mengeluarkan makanan-minuman dari dalam ransel yang dibelinya di pasar, tak lupa rokok kesukaannya juga menemani siang itu. Dengan santai dia menyalakan rokok dan menghisap perlahan dengan nikmat. Sembari membenarkan senderan diatas kasur, Solihin menyalakan televisinya, tangannya pun sibuk silih berganti antara remote-rokok-makanan-minuman. Dalam sekejap, ruangan kamar menjadi sumpek dengan asap rokok.
            Merasa bosan, Solihin mematikan televisinya, memang acara hari ini begitu monoton, hampir setiap chanel menyiarkan hal serupa, bertema Ramadhan. Ya, hari ini adalah awal Ramadhan, dan setiap orang muslim adalah diwajibkan untuk berpuasa, bulan dimana berkah dan pahala melimpah ruah, menggerogoti setiap dosa-dosa, mengembalikan jiwa kedalam fitri, membelenggu semua nafsu setan dalam iman, menuju insan manusia yang tawaqal. Mata Solihin menerawang ke langit-langit, mencari setiap celah kehidupan, makna yang tersirat diantara kepulan asap rokok, seperti kunang-kunang, pikirannya pun melayang bebas memenuhi setiap sudut ruangan.
            Adalah Khosim ayahnya, yang selalu bercerita tentang betapa soleh dan rajinnya sewaktu remaja kepada Solihin putranya. Begitu besar harapan Khosim kelak Solihin menjadi orang yang bertaqwa dan membela agamanya. Untuk alasan itulah, Solihin anak semata wayangnya sudah dimasukkan kedalam pesantren. Harapan yang selalu keluar dalam setiap obrolan malam, harapan yang terekam lewat kerasnya rotan saat Solihin melakukan kesalahan, harapan yang menjadi beban bagi jiwa yang mencari dan mendambakan kebebasan, harapan yang memaksa kebohongan demi senyuman ayah yang lebar. Sejenak matanya pun terbenam dalam kelopak, diantara kegelapan ada wajah sang ayah tersenyum, bangga akan dirinya, duduk bersama sebagai manusia dewasa, kemudian saling bercerita tentang indahnya surga bila dapat berkumpul bersama. Do’a pun terucap lewat mulut Solihin, mohon keselamatan dan kesejukan hati untuk sang ayah.
            Matanya terbuka karena seakan-akan merasakan belaian bundanya, Anisah namanya. Solihin sangat hapal akan sentuhan itu, sentuhan yang membangunkannya untuk solat,  belaian bunda sangat keras, sama seperti kerasnya sikap kepada anaknya. Sholat adalah hal utama, tidak ada alasan untuk meninggalkannya, “ingat nak, solat adalah tiang agama, tanpa tiang itu maka rubuhlah agamamu, saat rubuh, maka rubuh jugalah imanmu, dan semakin jauhlah kamu dari Tuhanmu, dan manusia tak lain di ciptakan hanyalah untuk beribadah nak, jangan kamu melupakan itu, karena sama menyakiti hati bundamu, yang telah melahirkanmu, yang telah dititipi kamu, apakah kamu ingin melihat bundamu kelak disana sengsara karena ulahmu, kasianilah bundamu dan bahagiakanlah dengan ibadahmu” itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut bunda, orang yang paling disayanginya. Bunda tak pernah letih dan cerewet dalam mengingatkan Solihin, itulah bukti kasih sayangnya, yang selalu mengingatkan lewat kata-kata dan kerasnya belaian tangannya.
            Tanpa terasa Solihin sudah menghabiskan 5 batang rokok dimulutnya, sambil lemas lunglai dia duduk diatas kasur, menghadap ke arah cermin didepannya, matanya tajam melihat sosok Solihin dalam cermin, kedua tangannya membelakangi kepala lalu mencambak rambutnya sendiri, matanya tertunduk melihat lantai, seperti sedang ada perang dalam pikirannya, lalu dengan tergopoh di berdiri berputar-putar didalam kamar, dari mulutnya seperti mengatakan sesuatu, tapi hanya dia sendiri yang mengetahui, dan akhirnya duduk kembali diatas kasur seraya menatap diri dalam cermin. Dia berbicara dengan bayangannya dicermin, dia mencaci, dia mengutuk, dia memuji, dan dia membenarkan.  Sadar pikirannya sedang kalut, dia kembali menghisap rokok dengan pelan, membaringkan kepala di sandaran bantal, mencoba rileks. Lalu dia tersnyum, membayangkan masa kecilnya yang polos, dia ingat betul betapa rajin dan tagwanya dia, bahkan dengan gampang dia berani menghardik orang-orang yang tidak menjalankan ibadah, orang-orang yang dianggapnya sesat. Masa remaja adalah masa dia mulai tak nyaman akan semuanya, dia harus berontak mencari hal baru yang belum pernah ditemui, bahkan membantah kedua orang tuannya. “Proses, inilah proses hidupku” gumam Solihin. Dengan keras dia mencoba memaknai setiap prosesnya, mencari alasan dalam setiap fase perubahan hidup dan perilaku.
            Kembali Solihin memandang sudut ruangan yang sudah semakin samar, asap rokok mengepul dan memenuhi setiap sudut ruangan tanpa tersisa, dia tak ingin membuka jendela, letak kamarnya yang berada ditengah ruangan rumah, tak terbayang saat dia membuka pintu atau jendela asap rokok langsung berhamburan keluar seperti gunung berapi menyemburkan abunya. Solihin tertawa kecil membayangkan ekspresi kedua orang tuanya bila melihat hal ini “hahaha…mungkin kalian akan membuang ataupun membunuh wahai ayah-bunda” kata Solihin dalam hati. Terlintas dalam benaknya untuk menulis proses kehidupannya hingga saat ini, lekas dia mencari pena dan kertas diantara rak-rak buku yang tak beraturan. “Ini adalah kisah dan sejarahku, dan aku harus mengabadikannya” Gumamnya dibarengi senyum puas.
            “Inilah kisah hidupku, sesuatu yang akan menjadikan siapa yang membacanya semakin mengenal siapa aku. Tahukah kalian, orang tuaku pun tak seberapa mengenal aku, teman-temanku pun tak seberapa mengenal aku, mereka yang tau proses hidupku tapi tidak memahamiku jangan berharap mengenal aku, seperti kedua orangtuaku. Tapi heran, mereka sangat yakin mengenal aku, dan mereka dengan tegas mengatakan “kami tahu apa yang terbaik untukmu, wahai anakku, karena kami sangat menyayangimu”. Tapi bagaimana mereka tahu saat aku sendiri yakin mereka sangat tidak mengenal aku, tahu akan kebutuhanku, bahkan cita-citaku, apakah aku tidak diperbolehkan menjadi manusia seutuhnya dengan menentukan pilihanku sendiri, bukankah ini hidupku, bukan hidup mereka, agak egois dan arogan memang, karena akupun masih menumpang hidup baik tempat maupun materi pada mereka, yah, tapi dibalik sanubari ini aku ingin bebas dalam mencari jalan hidupku sendiri.
            Sewaktu kecil, aku sangat kuat di doktrin oleh agama, bahkan aku dengan tegas menolak pemikiran agama lain, dan aku sangat yakin apa yang diajarkan oleh setiap guru-guru atau orang yang kuanggap tahu akan agama, waktu kecil, waktu masih polos, dan aku menjadi seorang fundamentalis, yang siap marah dan gerang dengan semua yang kuanggap menyimpang. Menegasikan semua yang diluar pemikiran dan kepercayaanku. Norma dan nilai agama yang ditanam dalam diriku sangat kuat, aku merasa lebih baik dari setiap teman-temanku dalam hal beribadat, dan aku sangat bangga akan hal itu. Tapi aku tak sadar bahwa doktrin tersebut adalah konservatif atau kolot, aku sangat fanatik. Hal yang wajar menurutku.
            Di usia remaja aku bertemu dengan teman baru dan kehidupan baru, walau masih dalam lingkungan pesantren, tapi sangat berbeda rasanya, mungkin dalam lingkungan ini banyak juga kutemui dan berteman dengan mereka yang berontak dan nakal, aku berada ditengah-tengahnya. Pikiranku pun semakin liar, baik dalam hal kepercayaan dan konsep agama itu sendiri. Aku mulai tidak hanya belajar tentang apa itu ibadah, tapi juga tentang spiritual, yakni diluar dalam konteks agama, mencari cara lain ketengan dalam meditasi dan perenungan, bukan hanya dengan Sholat. Pemikiranku semakin liar saat aku banyak membaca buku-buku aneh, pemikiran dan pola pikirku pun berbeda dengan kebanyakan remaja seusiaku, semakin kompleks, semakin melayang. Eh, dimanakah aku? Kenapa aku mulai tidak nyaman bergaul dengan mereka, mereka seperti selalu mebicarakan hal-hal yang monoton, aku butuh pengalaman baru, aku butuh ilmu baru, aku semakin jauh dengan teman-temanku, walau aku berusaha menyembunyikannya, karena aku sendiri takut dianggap aneh dan tak waras karena tak sesuai dengan pola pikir mereka.
            Begitu banyaknya pengalaman ku waktu remaja, akupun sudah mulai mengerti seperti apakah pola pikirku ini, aku mencoba mengendalikannya untuk bergaul lebih luas, aku bergaul dengan mereka diluar lingkunganku, aku bisa masuk hampir dari semua kalangan, anak kecil hingga orang tua, kaya raya hingga papa. Dari situlah muncul jiwa sosial yang tinggi dalam diriku, orang tuaku sendiri menyadari hal itu. Dia melihat kemunduranku dalam beribadat tetapi kemajuanku dalam rasa sosial yang semakin tinggi. Bukankah dulu ayahku sering bilang untuk membantu sesama apalagi mereka yang kekurangan. Tetapi mereka sendiri khawatir melihat aku yang selalu bergaul dengan orang yang jauh lebih tua dariku, aku sendiri heran mengapa aku lebih nyaman dengan mereka daripada dengan teman sebaya? Apakah kalian juga merasakan hal yang sama? Ku harap aku tidak merasa sendirian mengalami ini. Aku mulai mengenal toleransi dengan sedikit paham akan ragam kepercayaan, aku mulai mengenal pluralisme saat aku berani mengatakan “aku merasa benar dengan yang aku percayai, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama, dan kebenaran adalah apa yang kita yakini dan percayai, walau kadang kebenaran itu berubah saat kita mengetahui kebenaran yang lain”. Aku semakin kompleks, semakin ceroboh, semakin hidup dan yang jelas semakin hancur juga namaku dimata keluarga, mungkin karena tindak-tandukku yang mulai liar. Oh ya, sekarang aku sadar, dari kecil aku diajarkan tentang kebaikan, dan semua selalu dihubungkan dengan kebaikan, dengan norma, dengan aturan, tanpa ada yang mengajariku mengenal apa itu keburukan, apa itu penyimpangan, yang memaksaku untuk mengalaminya sebagi proses hidupku. Dan tindakan menyimpang yang dulu aku benci dimasa kecilpun di waktu remaja menjadi sangat familiar dan aku lakukan, meminum-minuman keras, bersumpah serapah, lalai beribadat dengan sengaja, dan lainnya.
            Apakah kalian pernah membayangkan diri kalian adalah Tarzan? Bisakah kalian tahu apa itu peradaban, apakah masih kalian makan menggunakan sendok, mengenal norma, mengenal agama, bahkan mengenal Tuhan. Dimasa proses pendewasaan aku mulai mengolah pola pikir rasional ini, mungkin seperti pada zaman Revolusi Perancis yang orang sangat mengagungkan pemikiran yang rasional, hingga hukum kita pun sangat rasional, sesuatu yang tidak rasional pun tidak bisa diterima. Dimasa ini aku membenci segala hal yang berbau tahayul ataupun mistik, aku membayangkan diriku murni tanpa ada embel-embel apapun, baik latar belakang maupun kepercayaan, dan aku menanyakan pada bayangan dicermin mau kemanakah aku ini? Aku sadar hak dasar manusia yang sering dibenci adalah dia sebagi mahluk individu mempunyai otoritas akan dirinya, hingga yang lain pun aku tidak peduli. Aku mulai menyukai ilmu filsafat, membuatku menghayal-hayal tinggi, pikiranku bebas dan aku selalu mempunyai arti. Hey, bukankah filsafat adalah mencintai kebijaksanaan, dan sebagai manusia kita harus bijaksana, karena seperti kata Aristoteles kita adalah zoon politicon, mahluk sosial (disamping kita juga mempunyai otoritas sebagai mahluk individu), dan bukankah bila melihat kalam kita selalu diingatkan untuk berpikir dan menggunakan akal, yakni mencari ilmu pengetahuan. Akupun basah dalam filsafat yang berhasil mengotak-atik pikiranku, tapi aku harus tau diri akan batas kemampuanku, aku harus mengendalikan hingga aku tidak bingung, malah bisa menjadi aneh, walau memang aku sudah di cap aneh saat mengembangakn pola pikir ini. Tapi disisi lain, aku sangat puas, sangat hidup, sangat berarti, aku sangat mengerti kebutuhan dan hasratku. Sebagai manusia aku pun menyadari segala daya keterbatasaan dan memaksimalkan kemampuanku”.
            Sejenak Solihin menghentikan menulisnya, dia menyulut kembali rokok dan meminum minumannya, membiarkan pikirannya rileks sejenak.”Hhhh…” Solihin mengembuskan nafas, dengan tersenyum dia memandang dan membaca kembali tulisannya.  “ Sebenarnya ini kisah yang panjang, susah juga untuk meringkasnya hanya menjadi beberapa lembar, mungkin bagus juga bila dijadikan sebuah novel” pikir Solihin, matanya menerawang kembali ke langit-langit dan tersenyum membayangkan bila sejarahnya dijadikan Novel mungkin bisa terkenal, malah bisa menjadi monumental seperti penokohon Romeo dan Juliet kaya Shaksespare. “Hahaha…ah, hayalan ga penting, ga mungkin..tapi lucu juga” gumam Solihin sambil terkekeh, dan melanjutkan tulisannya.
            Semakin banyak tahu dan banyak membaca, kehidupan ini seperti bolak-balik yang tidak karuan, yang remaja aku sempat tidak percaya tahkayul, kini kembali percaya, yang dulu aku berpikir rasionalis kini berpindah ke empiris, semua kadang membingungkan, tetapi bagiku menarik karna aku sendiri tidak statis. Tetapi satu hal yang kadang membuatku “muak” kepada diriku sendiri, aku tidak dapat membohongi diri sendiri akan kekecewaanku terhadap agama!. Mari kita bercerita mengapa itu semua bisa terjadi. Dulu aku mengaitkan segala sesuatu terhadap rasio pikir, bila itu tidak dapat ditangkap oleh daya pikirku, maka aku tak wajib mempercayainya, bahkan bisa menolaknya, mungkin bisa dibilang saat itu pikiranku sangat positivis, aku belum dapat melihat realita, bahwa ada energi-energi yang lain dibumi ini, seperti kemanakah energi manusia saat ia mati? Mengapa banyak manusia di lingkungan kita mencari-cari sesuatu yang magic? Memberikan persembahan? Dan itu telah lama beruntun dari jaman nenek moyangnya, apakah itu suatu tradisi atau budaya semata? Ataukah memang hal itu memberikan dampak dalam kehidupan nyata? Yang jelas, aku mulai mencurahkan segala pemikiran dan analisiku kedalam kehidupan realita, bahwa hal itu ada, bahwa yang magic mempunyai exsistensinya sendiri, bahwa banyak diantara manusia mengalami pengalaman-pengalaman ghaib yang tidak bisa dikaji secara nalar. Seperti halnya saat kita membicarakan tentang teologi, dimana seperti yang dikatakan Hasan Hanafi, bahwa itu bukanlah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan, melainkan ilmu yang mempelajari tentang kalam atau kitab Tuhan, bahwa Tuhan hanya bisa dibuktikan ketika manusia itu sendiri mengalami suatu pengalaman spiritual.
            Kemudian, tentang agama. Muhammad menarik umat kejalan yang benar dengan menjanjikan kesejahteraan bagi pemeluk agamanya, dimana harta adalah titipan, dan pada dasarnya adalah fungsi sosial, hingga kita mengenal zakat bukan semata-mata untuk mencari pahala melainkan juga untuk saling menyejahterakan hingga tak ada lagi yang kelaparan dan kekurangan. Bukankah agama diturunkan untuk membantu manusia dan menyelesaikan semua persoalan manusia hingga manusia bisa nyaman, tentram dan adil baik dalam bidang kesejahteraannya. Tetapi sekarang, agama sering digunakan sebagai alat! Ya alat dalam merebut kekuasaan, alat untuk melegitimasi setiap kesalahan dan ketidak adilan, alat untuk kekerasan dan membunuh, dan saat aku menulis ini, bulan  suci, Ramadhan, begitu sengsara umat miskin saat harus menanggung lapar-dahaga juga menanggung biaya hidup yang mencekik. Hello…katanya ini Negara kaya? Berarti kita donk yang tidak bisa menjaga amanat dari Tuhan yang memberikan kekayaan alam melimpah? Dan disana-sini orang masih arogan dalam beragama, masih merasa benar, masih siap mengangkat pedang untuk membunuh sodaranya? Astaghfirullah.
            Aku sendiri semakin marah, dulu pada jaman Socrates, Plato, Aristoteles, meraka tidak mengenal konsep surga-neraka atau hari pembalasan, mereka menggunakan filsafat sebagai jalan hidup dan beretika untuk memenuhi kebutuhan dan dinamika sosial mereka, saat ajaran monisme atau agama berkembang, manusia sebetulnya sudah tidak membutuhkan lagi filsafat, karena sudah mempunyai pegangan masing-masing dalam kalamnya, tetapi apakah hal itu benar-benar digunakan? Iya kawan-kawan, ini adalah curhatanku, dan kuharap ada diantara kalian yang mau mendengar keluh kesahku. Dan ini akan menjadi keluh kesah kalian nantinya. Melihat hal inipun, Nietczhe melakukan protokol Tuhan telah mati, Karl Marx menegaskan agama adalah candu, tapi apakah itu benar dari hati mereka? Eric Fromm membela Marx bahwa dia bukanlah orang yang tak menghargai agama atau kepercayaan, malah sebaliknya? Suatu kesadaran masyarakat adalah ditentukan oleh faktor ekonominya (ingat bagaimana Muhammad menjanjikan kesejahteraan), sehingga apabila kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi dengan baik, maka mereka akan nyaman dan tenang saat melakukan ibadah dan menjalankan akidah agamanya dengan baik pula. Masih ingatkah kalian diluar sana orang miskin mau melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan makannya, memikirkan kebutuhan spiritual dengan Tuhannya pun terbaikan. Dan bulan Ramadhan ini adalah bulan yang suci dalam agama, membawa berkah, tapi mengapa orang malah berteriak karena harga pangan pokok semakin melambung tak karuan? Apa yang sebenarnya terjadi, pembaca yang arif bisa menafsirkannya sendiri”.
            Solihin kecapean, tangannya letih menulis, dia merebahkan dirinya diatas kasurnya yang empuk, sambil membayangkan apa yang akan dan telah ia tulis, tak mungkin semua yang ada dipikirannya dia tulis semuanya, akan sangat banyak dan berlembar-lembar, bila dengan teliti bisa menjadi buku malah. Tiba-tiba dia membayangkan wajah-wajah, wajah perempuan yang sempat dia suka, tak dipungkiri perempuanlah salah satu yang membuat dia berkembang, dia sangat menghargai perempuan, bahkan dia tidak berani melihat bila ada perempuan menangis, jiwanya sangat keras, tetapi hatinya juga sangat lembut. Bukankah dibalik kekerasan ada kelembutan kasih, seperti kerasnya belaian tangan bunda Solihin adalah kelembutan cinta sang bunda kepada anaknya. “Oh perempuan, kalian memang hebat, sayang banyak diantara kalian tidak menyadari kehebatan kalian” pikir Solihin. Kemudian, dalam bayangannya segala keindahan-keindahan yang pernah dilaluinya,” hey, kenapa yang menurutku indah dan susah untuk dilupakan adalah saat-saat susah, hmm…berarti kesusahan bisa menjadi kenangan indah dimasa depan, berarti ga ada alasan untuk takut pada kesusahan atau masalah” pikiran Solihin mulai ngawur tidak menentu, caplok sana-caplok sini. Masih banyak yang mau ditulis Solihin, maka ia meluangkan waktu sejenak untuk beritirahat.
            Solihin baru sadar, rokok satu bungkus telah habis, makanan-minuman pun habis, ditambah lagi karena kebanyakan makan dan minum dia ingin ke kamar kecil. “wah sial, mau buang hajat kok malah habis rokoknya” gerutu Solihin. Saat dia bangkit dari kasur telah terdengar suara adzan maghrib, tanda berbuka. Tapi sayang, Solihin pun lupa sekarang hari pertama puasa, mungkin karena pikirannya terfokus pada rokok yang habis dan mau buang hajat, sontak saat dia membuka pintu kamar, bak asap gunung merapi meletus keruang makan yang berada di depan kamarnya, dari balik bayang-bayang kepulan yang berhambur keluar kedua orang-tuanya berdiri dengan senyum yang dipaksakan.

2 comments:

Arjuni said...

Hahaha...
endingNya Lucu ne coy
ideNya juga Unik, buat cerita dalam cerita.
cuma menurut w ceritaNya datar...jd kurang maenin emosi pembacanya..
untung endingnya Lucu..hehe

Ilham said...

siep dah...
hehe...
thankz brow..