Friday, February 11, 2011

Hujan 2 Februari 2011


Hari ini memang sungguh sial, hujan mengguyurku di atas motor, aku terpeleset dan terpelanting hingga tak sadar diri, setelah ku bangun hanya kosong dan tak ada apapun di sekelilingku, motorku pun lenyap entah dimana. Kejadiannya begitu cepat karena aku pun tak bisa mengingat kronologisnya. Aku hanya bisa duduk terdiam dan pulang ke rumah jalan kaki yang jaraknya cukup jauh. Tak tahu pertanggung jawaban apa yang harus aku berikan kepada kakakku, atau orang tuaku bila menanyakan perihal motor yang hilang, tapi aku berpikir, nanti akan aku kerahkan semua teman-temanku untuk mencari motor itu. Tidak hanya itu, mengapa hp juga harus lenyap sehingga aku tidak bisa menghubungi orang untuk menjemputku, oh kepalaku pun masih saja pusing akibat terbentur trotoar jalan, lalu akupun harus memikirkan kesialan ini. Lebih baik segera aku pulang kerumah, dibawah air hujan yang masih terus menguyurku.

Dalam perjalanan aku mulai mengamati semua orang yang terasa aneh bagiku, teringat aku saat mabuk, akupun melihat orang-orang disekelilingku aneh, aku merasa berbeda dan kini aku merasakannya, mungkin ini akibat benturan di kepalaku, bahkan air hujan yang mengguyurku seakan tidak terasa apa-apa saat menyentuh kulitku, mungkin indra perasaku mengalami gangguan, seperti halnya saat dulu bersama teman-teman aku di sekap dalam kamar, mereka menungguku, mereka menjagaku, karena aku sedang gila, aku sedang berhalusinasi, pengaruh masrum itu memang sangat kuat, teringat bila menonton film Taking Woodstock,ada adegan dimana mereka terhanyut imajinasi menggunakan LSD, sejenis narkoba jaman dahulu tapi sekarang sudah hampir mustahil mendapatkannya, namun dengan masrum pun aku bisa berimajinasi sampai kebatas tertinggi.

Sudah satu jam aku berjalan, dan akhirnya aku melihat gang terakhir yang akan menunjukkan rumahku, tapi kaki langsung lemas saat mencapai ujung gang, betapa tidak! terlihat banyak orang berkumpul, tenda didirikan dan kursi-kursi sudah terpajang dengan rapi, orang berdatangan, bahkan teman-temanku berada disana. “Oh, adakah sesuatu terjadi disini?” Tanyaku dalam hati. Apalagi yang terjadi?. Terpikir olehku ada keluarga yang meninggal, mungkinkah kakakku, atau adikku, karena tidak mungkin orang tuaku, mereka berada daerah lain, Banten. Bersama kakak dan adikku, aku tinggal disini, di Yogyakarta, bersama kami menempuh ilmu, untuk menunjang maka kami dibelikan rumah, sehingga selalu bersama dan saling menjaga.

Dengan lemas aku berjalan menuju rumah, kulewati semua orang tanpa perduli, hanya berjalan perlahan dan lemas, aku memasuki rumah dan meneliti kedalam. Lama aku meneliti menyelusuri setiap ruangan, kakakku duduk di depan dengan adikku, kakakku yang satunya tidak tahu entah dimana, tapi di dalam rumah tidak ada hal lain kecuali banyak orang berkumpul, lalu ada tetanggaku yang terdiam menangis sendiri, dari wajah mereka kulihat kesedihan, kesedihan yang sangat dalam. Aku keluar rumah, lalu berjalan mengahampiri teman-temanku, kulihat ada si Basri yang menatap kosong, Franky yang dari tadi menundukkan muka disebelahnya, Bandot yang dengan gelisah duduk sambil menghisap rokok, dan juga kuliaht Ilham berjalan menghampiri bersama Ade cina, Jarwo, dan juga Azza. Ilham berjalan melewatiku, tanpa memperdulikaknku dia berjalan menyapa Basri, lalu dia menghampiri Bandot. Mereka mengobrol, tapi aku tidak memperdulikannya, aku melihat Bang Ucok di pojok, lalu ku datang mengahmpirinya yang duduk tenang mengisap rokok, tetapi kulihat dia mulai gusar, dan tenang kembali. Aku menyapanya, menanyakan apa yang terjadi, kenapa mereka berkumpul disini, bukankah mereka tidak tahu alamat rumahku? Bang Ucok hanya diam, seperti tak melihatku dia berdiri dan berjalan pergi meninggalkanku menuju Bandot dan yang lainnya. Aku masih bingung, sambil duduk sendri aku berfikir apa yang telah terjadi, apakah ini efek dari kepalaku yang terbentur dan kini aku berhalusinasi, atau ini hanya mimpi? Aku tampar pipiku, tak ada yang terjadi, tak ada yang berubah, aku masih ditempat yang sama dalam kondisi yang sama, bukan atas kasur. Bang Ucok adalah teman seangkatanku kuliah yang masih tersisa di Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum, kami angkatan 2004. Bila dikampus, aku sering merasa sendiri, teman seangkatanku sangat sedikit, mereka telah banyak yang lulus, untung aku mempunyai banyak teman dari segala angkatan, hingga angkatan 2010 pun aku ada. Walau sering merasa sendiri aku jarang merasakan sepi, karena bagiku semua sama, tak pernah aku merasa lebih senior dari mereka. Bersama-sama mereka kami mengahabiskan waktu mengobrol di kantin belakang, hingga sering kami malas masuk kelas bila sudah keasikan ngobrol satu sama lain. Mereka adalah teman terbaik yang pernah aku temui, sangat beragam satu sama lain, dan itulah yang membuatku senang. Selalu ada cerita diantara kita, selalu ada petualangan baru, selalu ada kegilaan baru. Aku mencintai mereka seperti saudara sendiri, tapi tunggu dulu, seperti ada yang kurang diantara mereka, aku tidak melihat si July, si kecil tukang bikin onar yang dengan mulutnya sering memancing emosi orang, dia juga teman seangkatanku, tapi dia sangat baik, suka menolong satu sama lain. Mungkin dia jadi hari ini berangkat pulang ke Jakarta, tempat asalnya, toh dia juga sudah meyelesaikan studinya.

Hujan mulai reda walau rintik-rintik kecil masih terdengar seperti alunan music, tapi bukanlah music yang aku suka seperti halnya music rock ala Avenged Sevenvold atau setidak-tidaknya merdu alunan James Blunt dengan Pianonya. Ini music yang kelam, music kesedihan, tapi aku belum tahu kesedihan seperti apa yang terjadi disni, aku mulai bosan, banyak terkaan yang muncul dikepalaku, dan semuanya buruk, mungkin ada satu terkaan bagus, mereka sengaja akan mengejutkanku, tapi apa? Bukankah ulang tahunku juga sudah lewat, lalu apa? Tidak mungkin ada kejutan, ini kesedihan dan aku masih mencari tahu. Ingin aku berjalan menghampiri teman-temanku dan berteriak di depan mereka, apa yang terjadi, kenapa kalian tidak memperdulikanku? Tapi seakan ada suatu hal yang membuatku enggan untuk melakukan itu, aku hanya bisa mengamati mereka, masih kulihat ada beberapa yang mencoba bercandaan, terlihat dari expresi mereka, juga aku melihat si Bandot yang mulai kesal melihat hal itu. Walau aku sendiri tak tahu kenapa Bandot kesal melihat candaan mereka, bukankah dia juga suka bercanda, Ilham juga melihat dengan tajam tanda tidak menyukainya.

Kini semua berdiri, seperti menanti sesuatu, mereka melihat kearah gang di belakangku, apa sebenarnya yang mereka tunggu? Tapi akhirnya mereka satu persatu duduk kembali dengan harap-harap cemas. Aku perhatikan orang-orang yang bolak balik berjalan di depanku, tapi mereka benar-benar mengacuhkan tidak peduli, bahkan saat Kakakku lewat pun dia hanya melihat kosong ke arahku, tapi seakan tak melihatku, itupun hanya sekilas. Aku mulai berpikir keras, suara-suara orang bercakap disekelilingku hanya seperti gema yang bergemuruh, eh ada apa ini, kenapa tiba-tiba suara mereka hanya berdengung-dengung tidak jelas, sepertinya aku tidak diperbolehkan mendengar percakapan mereka, sepertinya kesadaranku mulai hilang, tapi aku sangat mersa badan ini masih sehat, benturan dikepalaku pun sudah tidak terasa sakit. Tak lama semua orang berdiri kembali, mereka menuju ke arahku, tetapi kemudian melewatiku, dari sudut seperti gema ku dengar sirine dengan biasan cahanya memantul di tembok-tembok, semua orang menanti dan menunggu dengan berdiri, ya, tak salah lagi, itu adalah mobil ambulan, tapi siapa yang didalamnya?

Ambulan berjalan dengan lambat memasuki tenda dan berhenti tepat didepan rumahku, semua orang berkerubung di sekitarnya, aku cemas menanti ambulan itu di buka, dari kursi tempatku duduk aku berdiri dan melihat, pintu terbuka dengan pelan, di buka oleh kakakku, dan seperti ada pukulan keras di punggungku yang membuat aku langsung lemas, kulihat peti mati, ya tak salah lagi bahwa salah satu keluargaku ada yang meninggal, di dalamnya kulihat Tunas menangis layaknya anak kecil merengek, lalu ada juga si Dian kekasihku yang lemas, mukanya lebam, tapi itu bukan lebam pukulan, lebam tangisan air mata yang tak henti-hentinya mengucur dari di pipinya. Aku ingin sekali beranjak dan berlari melihat apa yang terjadi, tapi kaki ini sudah tidak dapat lagi digerakkan, seperti tenggelam dalam tanah dan ditutupi oleh semen, oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?

Peti di keluarkan, Dian yang sudah lemas di sambut dan di papah oleh tetanggaku Bu Indri, akupun masih tersemen kaku di tempat semula, dengan perlahan peti itu di sambut dan dimasukkan kedalam rumah, semua orang berduyun-duyun mengikutinya masuk kedalam rumah hingga terlihat sesak, dan aku masih lemas tersemen, hanya bisa menyaksikan, dan hanya berharap ini mimpi. Perlahan kaki ini bisa digerakkan, dengan ku seret aku berjalan kearah rumahku yang sesak, aku belum bisa masuk karena pintu teras pun sudah sangat penuh, dari kaca orang-orang sibuk melihat ke arah peti yang di taruhnya di ruang depan. Kulihat juga Ilham menerobos masuk dengan paksa lalu di ikuti oleh yang lainnya, walau semua orang tahu, rumah itu sudah seperti mau roboh dirubungi manusia-manusia.

Aku berdiam menunggu untuk bisa masuk, karena badan ini terlalu lemas untuk menerobos, aku lihat Wawan, Bogel, Ilham dan yang lainnya keluar dan saling menenangkan, Tunas pun yang dari tadi menangis ditenangkan oleh Basri di luar rumah. Semua berkabung, semua sedih, aku pun sedih, tapi tak ada air mata, karena masih misteri, siapa yang meninggal? Sambil mengamati dan melihat ku atur nafas sedemikian rupa untuk menguatkan mental, tapi seperti tak ada udara yang masuk ke paru-paru yang mungkin sudah hancur oleh rokok ini, oh, bukankah aku ada rencana dengan Ilham untuk berusaha berhenti merokok, masih ingat saat dikantin bahwa kita bersama-sama ingin menyenangkan pasangan masing-masing dan mencari terapi berhenti merokok dengan cara hipnoterapi, oh rokok, kini kau mulai menjengkelkanku.

Perlahan aku mulai melangkah setelah kuyakinkan perasaan ini untuk tabah dan sabar melihat apa yang akan terjadi, manusia-manusia yang tadi berjejalan masuk kini sudah keluar satu persatu dengan raut muka yang pilu, sedih dan seakan tak percaya dengan apa yan dilihatnya. Aku dekati peti itu, dan kini aku sadar bahwa aku sedang dalam mimpi, aku yakin ini bukan kenyataan, bagaimana tidak, aku melihat tubuhku di peti tersebut, penuh luka dan jahitan di wajahku, dan aku telah mati terbujur kaku, tapi ini aku masih dalam keadaan yang sehat, yang masih utuh, aku amati dengan teliti apakah benar itu aku, dengan tersenyum aku menutup mata, pipiku terlihat gemuk speerti lebam, aku sadari diri ini mulai takut dan seperti tertahan untuk menentuhnya. Berkali-kali aku menampar pipi, namun tak membangunkanku, apakah ini hanya halusinasi tingkat tinggi? Aku keluar dengan bingung, kulihat Dian menangis tersedu di ruang samping, lalu ditenangkan oleh kakakku, dialah perempuan yang selama ini kunanti, dialah yang aku relakan menjadi calon istriku kelak, yang akan mendampingi langkahku, yang akan selalu mengingatkanku. Tapi aku sedang bingung, aku tak ingin mendekatinya, aku bahkan tak ingin mendekati siapapun, aku hanya diam ingin sendiri untuk menenangkan diri ini, aku berjalan keluar dan terus berjalan, tak tahu hingga kemana aku berjalan, ku dengar Jenazah itu sudah mau di solatkan, dan tak tahu kenapa aku harus tetap menjauh, menjauh hingga tak ingin rasanya aku kembali, dan kini hujan semakin deras mengguyurku, aku tak tahu kemana arah kaki ini melanggkah, hingga aku duduk terdiam di suatu tempat, tempat di mana aku terbangun, dan berharap aku akan kembali tertidur sebelum mentari bersinar di ufuk timur, sebelum semua menjadi semakin membingungkan. Besok aku akan bangun kembali, diatas ranjangku, lalu pergi ketempat Dian untuk mengatakan betapa aku mencintainya, lalu kekost Sidokabul 16 speerti biasa, ke Kost Tunas-Gigih, ngobrol di kantin bersama anak-anak lainnya. Tapi aneh, mata ini tak terkantuk dan aku tetap terjaga dengan kebingungan.


0 comments: