Monday, August 30, 2010

Yogyakarta : Kota Panas



      Udara memang terasa sangat panas, suhu mencapai 36,6'C, apalagi dengan karbon yang dikeluarkan oleh segenap kendaraan yang padat dan lalu lintas pun macet. Bila sejenak berteduh di bawah pohon rindang masih juga terasa hawa panas, sangat berbeda dengan dahulu, cerita para warga sekitar, mereka bilang dahulu dingin, walau pukul 12 siang pun masih terasa hawa sejuk yang turun dari atas pegunungan, kabut dahulu dingin, kabut sekarang tak lebih dari kotoran-kotoran buangan dari sisa pembakaran kendaraan yang lalu-lalang. Memang sedikit tak percaya, apakah benar dahulu dingin, sekrang bukan hanya panas dari terik matahari, tetapi hawa udara juga sangat panas. Inilah Yogyakarta, kota panas.


      Aku duduk di kursi yang mengelilingi pohon di depan benteng Vredeburg, sudah satu jam ku menunggu Hasan teman satu kampungku di Lampung, dia kakak angkatku di SMA dulu yang terlebih dulu melanjutkan study di UGM jurusan Filsafat, sedangkan aku yang baru satu hari disini. Sudah keinginanku dari SMA untuk melanjutkan study di Yogyakarta, tak hanya karena disini banyak Universitas yang bagus, tetapi juga aku ingin sekali belajar budaya dan seni lebih dalam di kota ini. Jujur, aku sendiri masih bingung universitas dan jurusan apa yang ingin aku masuki. Hari ini Hasan berjanji akan menunjukan dan memberi arahan tentang jurusan dan universitas mana yang bagus dan sesuai dengan minatku.

      Hampir saja aku tak mengenali Hasan, tak lagi ku temukan tampang dulu yang bersih dan rapi, kumisnya menjalar tak karuan bersambung dengan brewok, rambutnya juga sudah seperti sosis panjang gaya ala regge tapi kotor dan tak karuan, belum pakaiannya yang kumel dan tak karuan. Sambil ku terperanga kaget tangannya menepuk pundakku dengan keras membangunkan kesadaranku. “Hoi, melamun aja, sory ya, tadi aku ketiduran jadi ngaret dah” kata Hasan sambil kelakar mengingatkanku dengan kelakarnya Mbah Surip almarhum. “Iya ga papa, bearti bener cerita orang-orang kalo mahasiswa Jogja kerjanya suka tidur melulu” jawabku dengan senyum, tak anyal kelakar ala mbah surip pun terdengar kencang melawan bising kendaraan di jalanan.

      Awan tiba-tiba mendung saat kami berjalan menyisir pedagang kaki-lima di Malioboro, begitu banyak barang aksesoris dan batik di sepanjang depan pertokoan, juga sepanjang trotoar tukang becak dan delman menjajakan jasa bagi mereka yang tidak mau lelah menyusuri Malioboro yang panjang. Tepat pas hujan turun, kami terhenti di depan Malioboro Mall, kami putuskan untuk masuk dan bersantai disana. Hasan menawarkan mau menemani jika aku ingin belanja, tetapi aku menyarankan langsung ke Food Corner saja, disana bisa langsung bersantai dan mengobrol tentang teman-teman di Yogyakarta.

      Kami memutuskan duduk di meja tengah karena bisa terlihat semuanya, Food Corner yang dilantai tiga, jadi kami bisa mengawasi setiap orang yang ada dibawah dengan jelas, “siapa tahu tak sengaja menemukan teman sekampung sedang belanja disini” pikirku dalam hati. Tak lama minuman pesanan kami datang, aku dan Hasan pun mulai bercerita dengan hangat ditemani rokok kesukaan kami. “Jadi siapa saja San teman kita yang kuliah disini?” tanyaku memulai pembicaraan. “Wah, banyak Toy, ada Memed yang dulu sering kita kerjain itu, ada Gina anak pak lurah, trus ada juga Sabrina anak Haji Dahlan, masih banyak lagi lah pokoknya” jawab Hasan dengan semangat. Hatiku serasa bahaia ternyata Sabrina anak Haji Dahlan juga kuliah disini, wajahnya yang ayu meluluhkan hatiku sejak dulu, apalagi dia juga sangat alim, didikan dari keluarga sangat relegius, ingin tahu tentangnya maka ku arahkan topic pembicaran ke Sabrina. “Banyak juga ya San, eh, si Sabrina emang kuliah dimana? Masih sering ketemu tidak dengannya?” tanyaku dengan semangat. Ternyata di luar perkiraanku, wajah Hasan langsung lesu sedih saat dia akan bercerita tentang Sabrina, bagaimana tidak, Sabrina sudah berubah 180o, sudah hilang Sabrina dulu yang alim, lembut, ramah, dan bersahaja berganti Sabrina yang sexy, kasar, dan matre. Denger-denger dia sempat stress dan hampir bunuh diri karena mengandung yang akhirnya digugurinnya. Mataku terbelalak tidak percanya, kebanyang muka Sabrina di angan-angan tetap tidak bisa di bayangkan. Ku paksa Hasan untuk terus bercerita, namun dia tidak mengetahui lebih dalam, yang jelas saat ini Sabrina masih kuliah di Universitas Islam Indonesia, Jurusan Hukum.

                                                   *** 

      Hari pertama di kampus kulewati dengan lancer, banyak bertemu teman baru dan suasana kampus yang meriah. Setelah semua selesai aku memutuskan langsung pulang ke kos dan menolak ajakan teman-teman untuk main bilyard. Sesampainya di kos, kunyalakan computer untuk menyalakan musik dan merebahkan diri di kasur, alunan musik kalsik Johan Sebastian Bach mengajakku menghayal menembus langit-langit. Lalu tiba-tiba ku teringat dengan Sabrina, bukankah sekarang aku juga satu kampus dengan dia, setelah mendaftar kesana-kemari aku hanya keterima di Universitas Islam Indonesia fakultas Hukum, tapi belum juga aku bertemu dengan Sabrina, penasaran ingin melihat seperti apakah wanita yang dulu ku kagumi. Lama aku memikirkan hingga semua lelap dalam tidurku.

      Sudah seminggu aku kuliah dan tidak mendapati Sabrina di kampus, pikiran tentang dia pun menghilang. Banyak perempuan baru yang ku kenal, dari semuanya aku tertarik dengan Amelia, perempuan manis dari Jawa Timur, pembawaannya yang tegas dan cerdas membuatku kagum. Setelah selesai jam pertama, aku duduk di depan kantor pengajaran, hingga ada seorang perempuan memanggil namaku dan menghampiriku. “Otoy, kamu otoy khan?” Tanya perempua itu padaku. Aku mengangguk iya, tetapi masih penasaran dengan siapa perempuan ini. “Ini Sabrina Toy, masa kamu lupa” jawabnya dengan tertawa kecil. Aku hampir tak percaya melihat Sabrina yang sekarang, tubuhnya yang dulu kurus ramping kini montok padat di balut pakaian yang ketat, kacamatanya pun sudah tidak dipakainya diganti soft lens warna biru mirip orang Amerika, belum lagi make up yang tebal ala model berbeda dengan dulu yang lebih alami, juga jilbab gaulnya yang membiarkan poni terlihat jatuh hingga tepat di alisnya.

      Lama kami berbincang-bincang, dari situ aku perhatikan dan membandingkan Sabrina yang dahulu dan sekarang, memang benar kata Hasan, banyak sekali perubahan, di hari itupun Sabrina mengajakku mampir di Kosannya di daerah belakang Kampus yang hanya di batasi oleh sungai code. Awalnya aku enggan dia mengajakku ke dalam kamar, tapi akhirnya aku mau juga, katanya hal itu sudah biasa bila lelaki masuk ke kamar wanita, toh dikosan itu juga campur antara wanita dan laki-laki. Sesampainya di kos, tanpa malu Sabrina langsung membuka kerudungnya tanpa malu di depanku, padahal dahulu dia sangat anti membuka kerudung di depan laki-laki, sontak birahiku pun naik melihat dibalik kerudung terlihat bajunya yang sexy hingga sedikit terlihat belahan dadanya. Aku lantas mencoba membiasakan diri seakan tak terjadi apa-apa. Lama kami bercerita hingga sore telah berubah menjadi malam. Takut merasa tidak enak, lantas aku pamit pulang, tetapi Sabrina menahanku, dia ingin mengajakku keluar mencari tempat nongkrong. Aku pun tak kuasa menolaknya.

      Kami akhirnya nongkrong di dekat kedai kofe di daerah Seturan, tempatnya sepi, tetapi cukup nyaman untuk sekedar bercerita. Awalnya aku enggan untuk menanyakan lebih dalam tentang keadaan dia yang sebenarnya, aku ingin dia sendiri yang menceritakan keadaannya. Tetapi rasa ingin tahuku mengalahkan semuanya. “kamu sekarang tambah pintar dandan ya Rin?” tanyaku mengawali topik pembicaraan. Lalu dia tertiam tertunduk, seperti tahu apa yang aku pikirkan. “Aku tahu maksudmu Toy, banyak kok yang bilang begitu, yang katanya aku berubah lah, aku nakal lah, tapi aku tidak peduli! Ini hidupku, siapa mereka mencoba mengatur aku!” jawabnya ketus, aku pun kaget mendengar jawabnya yang ketus dan spontan seperti itu. Aku merasa tidak enak menyakan hal itu, apalagi dia mulai menangis, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tak tahu mengapa, aku manarik tangannya dan memeluk tubuhnya, berusaha unruk menenangkannya.

      Tak lama dia tersedu, mulutnya mulai berucap, dia menceritakan kisahnya, awal dia datang ke Jogja dengan tujuan study, hingga dia mendapat teman-teman yang membuatnya mengenal dunia luar. “Kamu tahu khan Toy, sebelumnya aku belum mengenal apa itu dunia luar, dunia gemerlap, makanya aku penasaran dan mau diajak kedalamnya” katanya sambil terisak di pelukanku. Aku membelai rambutnya yang wangi, tapi mataku masih nakal memandangi paha mulusnya saat dia terkelungkup dalam pelukan, mungkin sama saja dia tidak menggunakan celana atau hanya celana dalam, celalna hotpen itu sangat minim, cepat-cepat aku mengalihkan pikiranku yang kotor ini. Ceritanya berlanjut saat dia berhubungan dengan salah satu laki-laki dikampus, dialah yang merengut kehormatannya secara liar, tak dimunafikkan Sabrina juga mengakui menikmatinya, hingga kehamilan itu harus rela digugurkannya. Aku pun membayangkan, berucap sedih, mengapa anak yang baik dan alim seperti Sabrina bisa seperti ini dengan kehidupan di Jogja. Sabina sangat ketakutan, takut bila kedua orang tuannya tahu akan keadaan yang sebenarnya, dia anak satu-satunya dalam keluarga yang terkenal relegius itu, keluara Haji Dahlan yang sangat tersohor. Malam itu pun berlalu begitu saja, aku mencoba menenagkannya, memberinya semangat dan menasehatinya untuk kembali ke jalannya yang dulu. Hingga kami pulang aku tak berani mengantarkannya kedalam, hanya diluarnya saja, aku tak mau hal-hal lain terjadi diluar kehendakku.

                                                   ***

      Sudah 3 bulan berlalu, aku jarang seklai bertemu dengan Sabrina, terakhir ketemu dia agak berubah dan lebih sopan dalam berpakaian, akupun ikut senang melihatnya, bahkan aku dengar dia juga berpacaran dengan salah seorang anak kampus yang cukup kaya. Akhirnya aku bertemu dengannya saat sedang makan di kantin kampus, dia menghampiriku. “Toy, kemana ajha, lama tidak ketemu, kok gak pernah ngasih kabar ke Sabrin sie?” Katanya sambil merengek. “Engaak juga, aku malah yang jarang melihatmu dikampus, sudah punya cowok baru sieh, jadi sibuk pacaran terus yah” Jawabku sambil kelakar. “Ah, bisa ajha kamu” jawab Sabrina sambil tersenyum nakal, lalu dia pamit melihat pacarnya sudah datang dan menjemputnya.

      Hari itu seperti biasanya sangat panas, mungkin iki sudah masuk musim kemarau, tapi mengingat musim yang tak menentu orang pun susah untuk menegaskan musim apakah itu. Terlihat di berita TV keadaan makin memperburuk dengan gagalnya panen buah para petani, belum lagi masalah dunia tentang pemanasan global. Tak lama temanku datang, kami memang janji akan makan siang bersama di kedai makan Bu Muji. “Hey, tau gosip terbaru ga?” ketusnya ditengah-tengah makan. “Apa?” jawabku dengan santai, aku memang tidak terlalu suka bergosip. “Kamu tahu Sabrina, pacarnya Tomy, dia digosipin hamil Toy, liat ajha badannya yang udah mulai melar” sontak aku berhenti makan, memandang tajam ke arah Rahmad temanku itu. “ Suah Mad, klo kabar belum tentu jelas jangan kamu sebarin, ntar malah fitnah” Jawabku mengakhiri isi pembicaraan. Rahmad memang tidak tahu bila aku satu kampung dengan Sabrina, mungkin bila dia mengetahui, dia tak akan berani mengucapkan hal itu kepadaku. Benar saja apa yang dikatakan Rahmad, Sabrina memang 2 bulan terakhir ini terlihat lebih melar badannya, bahkan dia selalu menghindar bila bertemu denganku, desas-desus makin kencang, dan akupun hanya bisa kasian melihatnya.

      Malam itu aku sendiri di dalam kamar asik membaca Novel Dan Brown yang baru ku beli, hingga ada teman sekampung meneleponku, dia memberi berita bahwa Sabrina menjadi gunjingan warga yang hamil di luar nikah, orang tuanya pun marah besar karena malu, bahkan awalnya tak mau lagi mengakui Sabrina menjadi anaknya. Sekrang keadaan sudah makin membaik, Sabrina sudah dinikahkan, dan orang tuannya juga mulai iklas. Mendengarnya aku terdiam, tertegun dan sedikit merenung, mengapa begitu nasib wanita yang dulu pernah aku kagumi dengan karakternya yang beriman. Lama aku memikirkan hingga Novel itupun aku geletakkan tak terbaca.

      Setahun kemudia aku baru bertemu lagi dengan Sabrina, perutnya sudah tak lagi membesar, sepertinya dia sudah melahirkan, kami ternyata satu kelas, aku meliahatnya dan tersenyum, diapun membalasnya. Setelah selesai, aku mencoba mengjaknya untuk mengobrol di kantin, ternyata dia mau menerimannya. Lama kami saling terdiam, aku hanya memandangi wajahnya, memastikan apakah masih ada beban di raut wajah yang masih cantik tersebut. Tak ada lagi poni itu, tak ada lagi softlens, hanya kacamata tipis yang menghiasi matanya yang tajam. “Namanya Sophie” katanya tiba-tiba, “itu nama anakku Toy, kamu sudah punya ponakan sekarang” katanya lagi sambil tersenyum lebar. “Oh ya, bagus tuh namanya, trus dia sekrang dimana Rin?” Tanyaku ingin tahu,”dia sedang bersama ayahnya, maklum, kamikan sama-sama kuliah dan masih muda, jadi harus saling ngerti dan gantian mengurus anak, yah, walau kadang sedikit cek-sok tapi wajar lah” jawabnya dengan bangga. Lama kami bercakap-cakap, hingga akhirnya aku sadar ada janji dengan Amelia di kos buat mengerjakan tugas, buru-buru aku pamit pulang.

      Dijalan hawa yang sangat panas menyengat kulitku, Yogyakarta memang sekrang sangat panas, tidak hanya udaranya saja yang panas, tetapi hawa-hawa panas juga berkembang liar disini, hawa inilah yang merubah orang seperti Sabrina, dan hal seperti ini adalah wajar kerap terdengar oleh telingaku, bahkan telinga-telianga orang di kampungku. Bila ke Jogja bisa untung, berangkat sendiri, pulang berdua atau bertiga, kata mereka orang kampung sambil kelakar ala Mbah Surip. Tetapi hawa panas juga membuat orang seperti Sabrina harus kuat dan tahan, hingga dia bisa lagi tersenyum puas menerima semua, menahan panasnya jiwa, menatap harapan yang tak berujung. Akupun sudah tak tahan dengan udara panas ini, akhirnya ku putuskan menaiki becak menuju ke kosku.

0 comments: