Monday, August 16, 2010

Anak-KuJangan-Salahkan-KuMengandung


           Suara pintu dibanting sangat keras, tengah malam, cekcok mulut pun membelah keheningan dan desiran jangkrik, lalu diam, hanya isak-isak kecil tangis manusia terdengar tertahan dari dalam rumah kayu itu. Mata-mata dari balik tirai jendela mengintip, hal yang sering terjadi memang, tapi tak bisa ditolerir menjadi suatu kebiasaan, mencegah dan melerai malah memperparah keadaan, semakin menjadi, semakin membrutal, tak ingin ada korban hanya diam dan mengamati, kuncinya, bila golok atau parang itu mulai bergerak maka baru ikut campur dengan tindakan tegas yang perlu untuk dilakukan. Tak lama sosok lelaki kurus keluar, matanya liar, berjalan gusar ke jalan dengan kaki telanjang, lalu menghilang dalam kegelapan. Dan mata-mata dibalik tirai pun juga menghilang.


                                                  ***

            Matahari terbit dari ufuk timur dengan congkak, jalanan mulai ramai oleh kesibukan dan kepentingan, para ibu juga sibuk menyapu halaman, sambil mengobrol dari sisi rumah yang tak berpagar, kadang saling mendekat dan bergosip khas ibu-ibu dipedesaan, kejadian tadi malam pun tak luput dari pokok gunjingan, tentang Karmi yang kena hantam, oleh tangan suaminya Parman ditengah malam, rasa kasihan kepada kedua anaknya yang selalu ketakutan, luapan dan pelampiasan Karmi yang kesal, sangat malang, umur 6 dan 8 telah menjadi bahan siksaan, bahkan larangan bermain diberlakukan, untuk menemani sang ibu sepanjang waktu yang selalu ketakutan. Sudah lama Karmi terbangun, matanya melihat dinding-dinding kamar yang mulai lapuk dimakan rayap, sebentar-sebentar dipandanginya wajah kedua anaknya yang berada disebelah, terlihat bulu-bulu matanya mengeras karena sisa-sia air mata yang mengering, begitu juga pipi mereka membekas aliran air mata, saksi ketakutan tadi malam, belum pipi membiru keduannya tanda luapan emosi sang ibu, lalu, begitu polos keduannya saling berpelukan dan melindungi dalam keadaan tidur. Karmi takut untuk beranjak, takut melihat mata dari tubuh kurus itu, takut melihat rumah yang berantakan. Dirinya pun sadar, sebagai ibu rumah tangga tak ada gunanya tanpa ada bahan makanan, tak ada kegiatan selain memasak, lalu menyiapkannya untuk kedua belahan hati. Tak lama, pikiran yang kalut itu tersentak dengan ketokan pintu dan suara ibu-ibu tetangga yang berkunjung, dengan ragu Karmi pun beranjak dan membuka pintu.
            Ruangan rumah menjadi riuh, ibu-ibu membawa beras dan makanan, mereka seakan menebak bahwa Karmi tak memiliki sesuatu apapun untuk dimasak, masih beruntung hidup dalam suasana pedesaan, saling mengerti tanpa diminta akan kebutuhan tetangganya, walau diawali dengan suatu gosipan toh ada kebaikan terselip lewat tindakan nyata, beruntung tidak ada tembok-tembok tinggi yang menghalangi, untuk saling mengerti, untuk saling berbagi. Memang kampung itu masih alami, belum ada aspal batu jalan, hanya ada beberapa rumah yang sudah menggunakan batu-bata, sepanjang pemandangan hanya rumah sederhana dengan halaman tanah. Para ibu-ibu menenangkan Karmi yang mulai menangis meratapi dan mengutuk nasibnya, merangkul, memeluk dan mengusapkan air matanya. “Kamu harus kuat Mi, ini hanya cobaan sementara, memang suamimu sekarang sedang kacau, kami tahu dia sedang bingung memikirkan keluarganya yang terus kekurangan” kata Bu Marti yang adalah istri RT setempat. “Iya Mi, kita semua sedang paceklik, suamimu sebagai buruh bantu di sawah juga tidak bisa mendapat uang karena gagal panen, lihatlah, air sungai meluap sampai menutup semua sawah-sawah” timpal Bu Parji tetangga sebelahnya yang selalu melihat dan mendengar bila Parman dan Karmi mulai cekcok. Diantara semua penduduk kampung, hanya keluarga Karmi lah yang tidak mempunyai sawah, oleh karenanya, Parman suaminya bekerja sebagai buruh sawah membantu para petani yang lain. “Terimakasih ibu-ibu, saya tak tahu bagaimana harus membalasnya, karena dorongan ibu-ibu saya masih bertahan menghadapi semua ini, walau sebenarnya ingin mati saja daripada melihat dan meratapi nasib seperti ini” jawab Karmi dibawah pelukan Bu Marti yang hangat dan menenangkan seperti pelukan ibunya.
            Kini Karmi sendiri melihat tumpukan beras dan makanan diatas meja, anak-anaknya terbangun, tetapi masih takut dan hanya berdiam diatas kasur, begitu banyak beban pikiran mengawang, tentang bayangannya sewaktu gadis, memiliki rumah tangga berkecukupan, menyekolahkan kedua anaknya hingga tinggi, mengapa kenyataan tak seperti film yang sering ditontonnya dirumah Bu Marti?, bahwa selalu ada pertolongan, selalu ada jalan, ataupun seorang kaya raya menolong dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluargannya. Karmi melihat kedua mata anaknya yang masih ketakutan, dan ketakutan baginya saat tahu bahwa anaknya akan sangat menyesal dilahirkan dikeluarga yang amat miskin, dengan banyak hutang disana-sini, tak dapat menyekolahkannya. “Kemarilah nak, ibu tak akan memukul kalian, sinilah, lihat, ada makanan, ayo makanlah, bukankah kalian lapar sejak kemarin belum makan” Kata Karmi kepada kedua anaknya. Dengan ragu-takut kedua anaknya, Bambang si bungsu dan Hanif  yang tertua mendekati makanan seraya terdiam dan tertunduk, tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka, toh akhirnya mereka dapat mengenyangkan perutnya, tidak seperti hari kemarin, rengekan-tangisan kelaparan mendapat makanan berupa tamparan dan cubitan keras dari ibunya. Setelah kenyang, sang ibu pun mengaisi sisa makanan itu untuk sedikit mengganjal perutnya sampai nanti sore hingga dia dapat mengolah beras dari para tetangga.
            Malam Parman pulang, wajahnya begitu lelah, dia melangkah dengan menyeret kedua kakinya, tak sepatah katapun keluar, lalu duduk dikursi. Karmi mengamati dari bali tirai kamar, badan yang sangat kotor, muka penuh memar, “apa yang telah terjadi pada suaminya?” pikirnya dalam hati. Sejenak Parman menutup matanya, nafasnya masih tersengal-sengal, dalam bayangannya muncul kembali segala kemurkaannya, pada kesialan nasibnya yang miskin, hingga halal dan haram pun menjadi hal yang susah untuk didapat, mengapa dia masih selamat dan dilepaskan saat mencuri ayam dikampung sebelah, “hey, kasian dia si Parman yang miskin dari kampung sebelah, sudah lepaskan saja, dia juga sudah mendapat ganjarannya” kata salah seorang warga di kampung sebelah, di pasar pun berkeliling berjam-jam tidak ada yang membutuhkan kuli panggul. Oh, mengapa sekarang begitu susah mencari kerja di kampung, sudah cukup malu mukannya setiap hari menerima bantuan warga setempat, di kotapun dia tak yakin menjadi lebih baik, kaum miskin kota lebih sengsara daripada di desa, hutang juga sudah menumpuk entah kapan dapat membayarnya.
            Parman mengangkat kakinya keatas kursi, dia bongkokkan tubuhnya hingga perutnya melipat kedalam, caranya untuk menahan lapar, sebagai lelaki rumah tangga dia lebih menderita melihat keluarganya tak makan daripada dirinya sendiri. Karmi keluar dari balik tirai, tanpa bicara apapun dia berjalan kearah dapur dengan mata tertunduk kelantai, lalu mengambil nasi dan meletakkannya di depan suaminya yang kelaparan. “Anak-anak tadi sudah makan, ini dari para tetangga, hanya ada nasi” kata Karmi sambil beranjak ke dapur mengambil air putih. “Oh Tuhan, apakah tak ada gunanya lagi aku sebagai lelaki jika tak dapat menafkahi keluargaku” Kata Parman sambil menutup wajahnya dengan tangan, meratapi nasibnya. Karmi kembali dengan membawa segelas air, dia tak berucap, masih takut dengan keliaran suaminya secara tiba-tiba, bahan lampiasan kekesalannya kepada nasib, dan dia tak ingin anak-anaknyalah yang menjadi korban kekesalannya. Sambil terdiam Karmi langsung masuk kedalam kamar, merengkuh kedua anaknya, dan malam itu terlewati dengan keheningan tanpa ada suara tangisan dan teriakan.


                                                  ***
            Seminggu masih kelam, satu-satunya perbedaan hanyalah sinar mentari yang tertutup awan hitam, mendung yang padat, tapi tak kunjung turun hujan. Parman mengepak perkakas rumah yang layak untuk dijual, untuk makan, kursi-meja dan lemari telah hilang, kini apalagi yang bisa terjual, harga diripun telah hilang demi hilangnya lapar. Karmi bermain dengan anak-anaknya, hari ini dia ingin membuat indah, tanpa marah, tanpa pukulan, menyadari segala kekejamannya, tapi anak-anaknya pun berasa enggan bercanda dengan sang ibu yang telah lama berubah menjadi sosok jahat dan gila pukul, ditambah kengerian melihat sang ayah memukul ibunya, alasan takut jugalah yang membuat mereka mau bermain dengan ibu. Parmin keluar dengan membawa perabotan sisa yang dapat dijual, memang barang-barang mereka tidaklah bagus dan hanya bisa terjual murah, hidup di kampung miskin juga menambah harga semakin murah, ditambah dengan musim paceklik.
            Hari semakin sore, Parman belum juga pulang, memang bila menjual barang agak susah, juga Parman pasti langsung membelikannya bahan kebutuhan pokok. Karmi pun memandikan anak-anaknya, lalu setelah semua pekerjaan rumah beres dia baru memasak lagi. Semenjak keadaan semakin memburuk, Karmi membiasakan tidak memberi makan kedua anaknya di waktu pagi, untuk menghemat dia menyiasati makan dua kali sehari, tak ada sarapan, hanya makan siang dan sore, sedangkan malam tidak ada, bila kedua anaknya merengek lapar, dia dengan paksa menyuruh keduanya tidur. Hari itu pun seperti biasanya, yang berbeda hanya Karmi selalu tampak ceria di depan kedua anaknya, selalu tersenyum, hingga sore itu pun kedua anaknya mulai nyaman dan bahagia menemukan ibunya yang dulu telah kembali. Mendung dari tadi siang sore itu berubah menjadi gerimis, saat memasak Karmi menyuruh kedua anaknya bermain di dalam kamar, tak perlu membantu atau menemaninya seperti biasa. Memang agak aneh, yang terpenting adalah anaknya bisa senang kembali, bermain dan berloncat-loncat di kasur yang sudah reot dan terus berdenyit.
            “Mari nak, ini makanannya sudah siap, ayo makan yang banyak, sengaja ibu memasak banyak hari ini” seru Karmi keanak-anaknya. Tak anyalpun mereka loncat kegirangan, “akhirnya” pikir mereka. “ Ayo, cuci tangun dulu sana di sumur, jangan jorok, nanti sakit” kata Karmi sambil tersnyum, mereka pun dengan senang hati mengikuti, demi makan besar.  Tak lama, mereka bertiga memakan-makanan dengan lahap dan bersemangat, berpuas-puas ria. “Habiskan semuanya ya” kembali Karmi menyeru ditengah-tengah suasana makan. Sangat indah Suasana dirumah itu, walau mendung sepanjang hari dan gerimis hujan turun merangkai melodi.
            
        Dengan semangat Parman pulang kerumah, hari yang beruntung pikirnya, setelah sore dagangannya belum laku juga, tetapi tiba-tiba ada pembeli yang memberi harga cukup bagus, sangat jarang hal ini terjadi di musim paceklik. “Pasti itu orang baru” pikirnya dalam hati. Tak lupa, Parman juga membeli banyak beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya yang cukup untuk tiga minggu kedepan, tak sabar dia walau ditengah gerimis dengan mantab melangkahkan kakinya pulang kerumah.
            Diluar pintu rumah Parman dengan kegirangan berteriak-teriak memanggil istrinya, tak ada lagi percecokan malam ini, sebenarnya dia hanya butuh bahan makan untuk dua minggu kedepan, karena sudah ada tetangga yang akan menjanjikan pekerjaan di minggu ketiga, hanya saja dia tidak memberitahukan kepada Karmi, sebagai kejutan pikirnya bila dia tiba-tiba kerja kembali. Berkali-kali Parman mengetuk pintu, sang istri tak juga membukakannya. “Hmm, mungkin mereka tertidur” pikirnya dalam hati. Lalu Parman berputar lewat pintu belakang melalui dapur, pintu belakang memang jarang dikunci.  Di dapur Parman menaruh beras dan bahan kebutuhan, keadaan dapur masih berantakan, wajan dan perkakas masak tidak dibereskan Karmi setelah memasak, dibiarkan kotor dan berserakan. Parman mencoba menahan emosi, dia tak mau membuat suasana hatinya yang senang menjadi kacau oleh hal sepele seperti ini. Lalu dia bergegas menuju ruang tengah yang biasanya digunakan untuk makan, mulutnya tertahan dan matanya melotot bak kesetanan, tubuhnyapun kaku, kemudian lemas berjalan sempoyongan kedepan, kaki itupun tak sanggup lagi menahan dan jatuh berkalang ke lantai yang masih dari tanah, matanya meredup dan mengeluarkan air mata, mulutnya mulai bergeming tak karuan, dan sontak teriak lantang menggugah tetangga untuk segera bergegas melihat.  Parman merengkuh dan memeluk sosok tubuh yakni Karmi yang sudah tergeletak, disampingnya juga anak-anak mereka dalam keadaan yang sama, dari mulut mereka keluar busa dan mata melotot, terlihat juga makanan yang belum mereka habiskan berserakan di lantai. “Karmi!!! apa yang terjadi! Kamu kenapa Karmi!” teriak Parman histeris pada tubuh yang sudah tak bernyawa itu ,kemudian seperti teringat sesuatu Parman beranjak dan berlari kearah dapur, dicarinya racun serangga yang ditaruhnya didalam botol dan tersimpan dibalik kendi beras, “Oh gusti!! Maafkan hambamu ini” seru Parman yang mendapati botol yang awalnya penuh sekarang sudah tak tersisa sama sekali. Tangannya mengepal, menghantam setiap benda di dapur seperti kesetanan, beras yang baru dibelinya pun dilempar keluar, basah dan kotor bercampur air dan tanah, dihantamkannya kepala ke pilar kayu, diambilnya parang dan dicacahnya semua yang ada di depan mata, warga menyadari apa yang terjadi, mereka lekas berdatangan, Parman pun sudah sangat kesetanan, mereka mencoba menenangakan tapi tak sanggup, Parman sepertinya sudah benar-benar gila, dia bahkan menanggalkan pakaiannya, lari keluar rumah, dipelataran dia mulai teriak-teriak sendiri tak karuan, menantang sang alam, menantang Tuhan, mengutuk semua yang ada, lalu berlari menghilang ditelan hari yang mulai petang, dibawah gerimis yang berubah menjadi hujan, dihari minggu yang memilukan.
           


*untuk mereka yang meretas nyawanya dan anak-anaknya yang tak kuat melawan kejamnya dunia

4 comments:

Sandy said...

PERTAMAX!!'

bagus Ne gan..tp ada beberapa kata yg blm benar penulisannya n ada juga kalimat yg kurang pas..

Ilham said...

Oke, nie lagi gw koreksi...
than brother...

Sandy said...

Sipp..
daH dRubah ne y??
BetterLah..
teruskan karyamu Nak...hehehe

Ilham said...

Thanks banget bow perhatiannya...
hohohoh....