Monday, February 21, 2011

Dewa Ketakutan

Suara hati adalah suara yang harus diperjuangkan, selain suara hati, seharusnya manusia juga mengenal suara perut, karena bila perut berteriak hilang semua suara di dunia ini, hilang semua-semuanya, yang ada hanyalah “isi” dan isilah perut hingga kau puas, hingga kau bisa tenang. Alangkah lucunya, saat perut sudah penuh, maka nafsulah yang kosong, dan mausia bersesak-sesak, berbunuh-membunuh demi mengisi nafsunya yang tak pernah penuh, inilah bedanya, saat perut penuh dia akan menolak yang masuk, tapi nafsu selalu meminta, korban-korban berjatuhan, tak ada lagi pengharapan, mungkin inilah manusia adanya.

            Terdengar suara ghaib memanggilku, dialah yang aku tunggu-tunggu, karena dialah antara ada dan tiada, dia tega menghujatku bila walau perutku berteriak, bahkan siap membunuhku dengan pedang dipunggung yang siap di cabut. Belakangan aku mulai menerka-nerka siapa gerangan, ssuatu keberadaan, bukan jika dia malaikat, bukan juga jika dia setan, jin atau sebangsanya. Ataukah Tuhan? Tidak mungkin, mana ada Tuhan yang mengancam seperti sedang mengolok dirinya yang tidak kuasa mengontrol mulutku untuk “mengeluh” jika tak mengikuti perintahnya. Tapi kini aku sangat ketakutan, tubuhnya mengeluarkan sinar sejuta warna kelam, warna kemarahan, aku menangkat badanku dengan tangan yang lemas, sial tapi, dibelakangku ada tembok, aku baru sadar berada di sudut, sudut sebuh pintu Mall, sebuah pintu yang membawa manusia kearah nikmatnya nafsu dunia, nikmatnya membeli apapun yang mereka suka, tanpa menyadari itu berguna atau tidak, dan aku yang seperti ini adalah kotoran bagi mereka, untuk mencapai depan pintunya yang megah pun aku harus menunggu malam, jika aku beruntung aku bisa tidur di depannya, berharap aku memimpikan betapa indahnya jika aku bisa membeli apa yang ada di dalamnya, tapi sering tubuhku seperti terkoyak-koyak karena ditarik paksa oleh manusia besar dengan seragam kebesarannya, tubuhku yang lemah tak terurus, lum terisi perut ini serasa hancur, akhirnya akupun harus mengalah, karena sekali saja aku merasakan sakit yang luar biasa tatkala itu aku melawan dan sepatu besar itu bak menancap di perutku yang kosong. Malam ini harusnya aku beruntung bisa bermimpi indah dengan segala kegemerlapannya, mimpi adalah hal yang paling mahal dari diriku saat ini, tanpa mimpi aku sudah tak sanggup lagi hidup, hingga akhirnya suatu keberadaan datang, dia sering datang kepadaku, sudah sering aku menangis da mencium-cium lututnya untuk segera dapat melepaskan dan pergi jauh dariku, apalah yang dia minta dari orang yang kotor ini, bahkan aku tak mempunyai suatu apapun.

            Suatu keberadaan kini semakin mendekat, matanya menatapku dengan tajam, berwarna merah, rambutnya yang panjang terurai kedepan, menyentuh kulitku hingga pedih karena tajmnya bak jarum, dia mengenakan jubah berawarna hijau tua, dibawah sinar lampu dari jauh dia tampak sangat menakutkan, dari dekat rasa itu berubah menjadi sebuah rasa kutukan yang harus aku terima, kutukan yang tak pernah terbayangkan, seharusnya aku tak perlu takut, segala cara sudah aku lakukan untuk menjauh darinya, toh percuma juga, dia selalu menemukanku, di lorong-lorong, di samping rumah-rumah, dimanapun jika dia ingin dia dapat menemukanku, lalu kenapa aku harus takut pada suatu keberadaan, bukankah aku harus memeluknya sebagai kawan yang selalu datang kepaku, kenapa aku mengharap orang-orang yang selalu menjauh dariku, menganggapku kotor, hina, dan sebuah keindahan jika aku tak ada. Dan satu keberadaan, dengan seramnya, dengan pedang di punggungnya, selalu menemuiku. Tapi tetap saja, aku tak bisa menyembunyikan rasa takut yang luar biasa, rasa kutukan ini adalah rasa takut yang klimaks, bahkan tak terbendung. Jantung ini berdebar layaknya lepas, tubuh ini lemas selemas-lemasnya, bila dua matanya menatapmu, seribu mata mengitinya, dank au tak bisa bergerak kemana-mana. Otakku selalu bertengkar tentang siapa sebenarnya dia, apakah dia dewa ketakutan? Dialah yangs sering merasuk kedalam jiwa-jiwa manusia dan merusaknya, karena dialah kekacauan ada, karena dialah dewa ketakutan, hingga manusia harus tunduk dan takut padanya, dia menciptakan ketakutan-ketakutan dan membuat manusia untuk melepaskannya, menakut-nakuti manusia akan bangkrut, maka manusia menghalalkan segala cara untuk terus memperkaya dirinya, lalu ditakuti bahwa manusia akan di kecilkan, maka manusiapun berlomba-lomba memaksakan segala cara untuk kekuasaannya, dan lain dan lain dan lain-lainnya. Kini dia di depanku, mempengaruhi jiwaku, menambah ketakutannku, memaksaku melakukan keinginannya! Tapi mengapa harus aku!! Bukankah aku bukan manusia yang ada, manusia yang untuk membeli pun tak bisa, karena sudah lama aku membenci uang. Begitu banyak traumaku karena uang, uanglah yang membuatku seperti ini! Uanglah yang membuatku menghamba dan patuh pada dewa ketakutan, pada suatu keberadaan!

            Sekarang seharusnya aku sudah bebas, aku sudah lepas, dulu saat memiliki uang aku mudah takut, tapi kini aku tak berpunya dan papa pun masih saja dikejar-kejarnya, “takut dan takutlah padaku!” itulah yang selalu dilontarkannya dengan seribu mulut yang mengikutinya. Di depanku kini dia tetap mengeluarkan sabda yang sama, aku tak berani memandangnya, kurengkuh tubuh dan kakiku, aku menggigil ketakutan, aku berteriak histeris, mata ini pun tak bisa ku pejamkan, memaksaku untuk melihat, walau dengan berusaha sekuat tenaga aku tak sanggup melakukannya, kututup telinga dengan kedua tanganpun seribu suara tetap datang menghampiriku, memang beginilah rasanya, aku dipaksa melihat sesuatu yang aku benci dan aku takuti, inilah yang menyiksa diriku, batinku, ketenangannku, dimana sebenarnya ketenangan, saat kaya orang tak bisa tenang, miskinpun tetap tak tenang. Kenyataan pahit yang harus aku terima, sebuah dilema kutukan hidup dan sebuah konsistensi menjadi manusia. Tak ada seorangpun bisa menyelamatkan diri dari dewa ketakutan, karena dia suatu keberadaan, dan adanya dia hanya dia sendirilah yang bisa menentukan.
            Ingin rasanya ku berteriak hingga dunia ini runtuh, karena itu lebih baik jika dibandingkan berhadapan dengannya, akhirnya dalam ketakutan aku berpikir, sangat keras aku berpikir, mencari alasan,mencari sebab. Kini mulut ini mulai terbuka, dan aku tertawa sekeras-kerasnya aku tertawa, ketakutanku sudah over, sudah dan sudah cukup sampai disini aku merasa takut, toh dia juga akan selalu datang, bukankah dia suatu keberadaan, dan kenapa aku harus ikut mengikutinya atau takut kepadanya? Ketidakjelasannya membuat manusia selalu bingung menentukan sikap, ketidak mengertian manusia membuat lupa akan keberadaannya sendiri dan menghamba ke suatu keberadaan, dan kini aku sadar, aku harus menikmati ketakutan ini, biarkan takut ini ada dan apa adanya merasuk menggerogoti jiwaku, dan aku tetap tertawa lepas, takut membuatku tunduk dan tertawa membuatnya tunduk, tak ada yang kupikirkan selain kebahagiaan. Aku rasa suatu keberadaan alias dewa ketakutan iri padaku, dulu dia bisa mengontrolku, membuatku bertindak ini-itu dengan beribu-ribu alasan, entah berapa manusia yang aku lukai, yang aku rampas! Hey lihatkah wahai suatu keberadaan, kini aku tak membutuhkan apa-apa? Kau lihat gedung-gedung megah disini, aku baru sadar bahwa mereka milikku, bukankah aku masih bisa tidur di depannya dan terlindung dari hujan, dari sini pun aku bisa menikmati bintang-bulan dengan leluasa mengantarkanku tidur, hey suatu keberadaan, apakah kau lihat restoran-restoran mewah di kota ini, mereka juga milikku, tong-tong sampah itu memberiku kenikmatan untuk mengisi perut ini, dan saat ingin bercinta aku hanya membutuhkan sedikit imajinasi saja. Aku sudah sangat kaya dan berkecukupan dalam semuanya! Tidak lagi kau mengusikku untuk melakukan ini-itu di tengah ketenangan hidupku ini, kau suruh aku mencuri, kau suruh aku merampas, bahkan kau suruh aku memperkosa! Aku sudah tak lapar, dan nafsuku sudah terlampiaskan semuanya!

            Tak sadar aku sudah berdiri menatapnya dengan teriakan lantang, teriakan yang memekikkan telinga, dan tawaku mengelegarkan dunia, membangunkan bagi mereka yang mulai sadar, menampar mereka yang belum sadar. Ketakutan membuat mata hati rusak, orang tidak lagi memandang ketakutan seperti kesucian, yakni ketakutan yang berasal dari hati, bukan dari suatu keberadaan, bukan dari dewa ketakutan atau ketidakjelasan lainnya. Mereka tidak takut memakan, membunuh dan merampas sesamanya, tapi mereka takut jika tidak melakukannya, kekuasaan, kekayaan dan kepamoran dirinya akan hilang. Kini aku bebas! Aku terlepas, ketakutan sudah menghilang dari depanku, tak ada lagi kutukan, tak ada lagi kesakitan jiwa dalam diri ini, luarku kotor, batin dan jiwaku bersih. Aku berlari kedepan, menantang kemegahan gedung-gedung, kuhujat mereka, kuhujat semua! Semua tak lebih baik dariku, semua rendah, karena akulah yang sadar.
            Lalu dari ujung kegelapan malam, suatu keberadaan muncul, dia bersama seseorang, dibisikkan sesuatu ke orang tersebut lewat ubun-ubun, direngkuhnya hati hingga keluar, dan kini dia datang dengan seorang yang tak berhati, orang tersebutlah yang mendatangiku diwaktu sial, yang mencapkan kakinya di perutku, dengan seragam yang sama yang selalu dia kenakan, dan tangannya yang kuat kokoh itu bisa selalu menarikku dengan paksa hingga koyak seluruh tubuh ini. Aku mengamatinya, lalu aku berteriak padanya, memperingatkannya, bahwa dibelakangnya ada dewa ketakutan, suatu keberadaan! Semakin dekat semakin jelas dia datang dengan sangat marah, seperti induk singa kehilangan anaknya, aku sadar aku takkan selamat lagi, kudengar suatu keberadaan membisikkan kepadanya “dia orang gila yang selalu menyusahkannku, kini buatlah dia jera sejera-jeranya, apakah kamu tidak takut pekerjaanmu hilang gara-gara dia, kini dia berulah, kau harus kejam kepadanya, tak ada lagi toleransi, tak ada lagi member hati, tak ada lagi kasihan didalam dirimu, yang ada hanya kemarahan dan marahlah sebesar-besarnya”.

0 comments: