Wednesday, September 29, 2010

Di Penghujung Hisapan Candu

 

    Malam memang terasa sangat dingin, jaket tak lagi dapat memberikan kehangatan di badan ini, disepanjang lorong bergerombol manusia dengan muka lesu, anak kecil pun tahu mereka sedang dirundung pikiran kalut, rumah sakit memang tampat orang sakit dan menjadi sakit, sakit “kantong” dan sakit pikiran. Aku berjalan menghampiri bapak-bapak tua di ujung lorong bersebelahan dengan kamar sepupuku yang dirawat karena tifus dan flek paru-paru. Aneh, bagitu cepat mimiknya berubah bersemangat, seperti pahlawan dia menceritakan masa mudanya yang gagah tetapi tak sombong, seperti hilang bebannya, tak ada pikiran tentang biaya dan nasib anaknya yang tengah koma akibat kecelakaan, romantisme masa muda memang menggairahkan kesenangan tersendiri rupannya. Obrolan pun semakin akrab dengan kopi panas dan rokok kretek, udara dingin telah hanyut berkat hangatnya suasana.

    Dari samping terlihat gerombolan perawat berjalan mengunjungi kamar demi kamar, 2 perawat menggunakan seragam krem, sedangkan 4 yang lainnya putih, sepertinya ini pembelajaran untuk pendidikan keperawatan. Tiba-tiba orang tua di depanku berucap saat melihat para perawat lewat, “lihatlah nak, enaknya bila punya uang, lantas anaknya disekolahkan seperti mereka, kerjaannya gampang, enak dan dapat uang lagi” katanya seperti berdo’a, mungkin itu harapannya kepada anak ke duanya yang masih duduk di kelas 2 SMA. Obrolan pun beralih ke masalah pendidikan dan biaya mahal hingga tentang keadaan bangsa ini yang terus dirundung masalah PKB, yakni Pengangguran Kelas Berat. Aneh memang, bapak yang terlihat miskin pun membicarakan tentang kemiskinan, seakan lupa bahwa dirinya pun miskin, dengan tegas dan berapi dia membicarakan tentang politik yang kacau dan tak memihak, sudah sadar memang orang-orang miskin Indonesia akan keadaannya, tetapi bapak ini seperti mewakili berjuta-juta rakyat miskin yang masih tidak berani bahkan saat haknya diinjak-injak oleh penguasa dan tertipu akan sejuta janji yang menguap diudara tanpa hasil apa-apa.

    Keadaan badanku terasa semakin lelah, tapi mata tetap tak mau mengatup, menantang untuk melihat matahari terbit dari ufuk timur, melewati waktu malam ku berjalan melewati lorong yang kini bak hotel umum, mereka seperti kumpulan kerbau yang siap di jagal, terkelungkup dalam sudut-sudut pintu, dan entah sekarang sedang mimpi apa, mungkin arwah-arwah di rumah sakit ini juga ikut menghangatkan mereka, hingga bisa pulas seadannya. Ku cari bapak yang tadi, ternyata diapun sudah menjadi bagian diantra kerbau-kerbau itu, lalu sendiri ku duduk di taman, menghabiskan segala pikiran yang termuntahkan lewat sembulan asap rokok ini. Lama aku memandang langit yang cerah penuh bintang, tapi tak ada bulan, tak lengkap rasanya melihat bintsng tanpa bulan, seperti ada yang hilang, mungkin seperti ada pertanda.

    Ku bayangkan ada seseorang didepanku, mungkin ku berharap ada roh yang juga kesepian malam ini menemaniku, sekedar untuk berbagi cerita, atau setan-setan yang bosan menggangu orang sakit untuk sekedar memberikanku masukan busuk tentang dunia ini. Lama aku membayangkan, tak terjadi apa-apa, tak ada roh, tak ada setan, apalagi mengharapkan malaikat. Memang hanya rokok inilah yang menemaniku dalam segala hal, saat ku berbuat baik mereka menemaniku, saat ku berbuat buruk mereka juga yang setia memberi dukungan, menghiasi mulutku saat berceloteh tentang ahlak, juga penyedap saat meminum arak di tengah diskusi. Tak lama, segenep kebencian segera memuncak, terkumpul dalam tangan ini, oh tidak, ternyata aku bukan mahluk merdeka yang seperti aku bayangkan dan aku sadari, lihatlah wahai malam gelap, rokok ini berhasil mencampakkanku, dia bak pelacur yang selalu ku bawa, bahkan aku mengemis hanya saat ingin bercumbu dengannya, aku bingung membedakan antara kebiasaan dan kebutuhan, apakah aku sudah manusia, membabi buta dalam kerinduan di setiap batang ini adalah tak lebih baik dari penistaan terhadap kesadaranku. Badanku gemetar, tanganku tetap melakukan tugasnya sebagai perantara rokok-mulut dan asap. Ku lemparkan pikiranku ke langit atas, mencoba mencari jalan dan kebenaran.

    Tiga jam dalam beribu kepulan asap yang semakin menjadi-jadi, semakin berakumulasi juga kebencian ini, semakin gemetar juga badan ini, mental yang berat untuk memutuskan, kejalan mana pikiran ini harus ditujukan. Ku genggam kuat batang rokok ini hingga tak sadar hamper patah, gejolak apa dalam diri ini, pertentangan yang sangat kuat. Kembali teringat tentang orang tua miskin tadi, badannya yang habis, keadaannya yang sulit, beban anaknya yang terkapar, dan kuat mulutnya diperkosa oleh rokok-rokok yang bergantian mengirimi kenyamanan lewat asap-asap nikotin. Oh, siapa yang tolol? Siapa yang sadar? Siapa yang manusia?. Apakah benar gejala dua minggu yang lalu, saat pikiran ini mulai muncul, saat sendiri ditengah malam ku pandangi dengan dalam rokok di tangan dan aku seakan akan berpisah dengannya, mungkin aku akan mati atau aku akan berhenti. Dan mala mini pikiran yang semakin kuat pun muncul, kelanjutan dari sebuah proses dan perenungan sebagai manusia merdeka dan ingin merdeka.

    Haji Bakri yang dulu pernah kudengar cerita dari seorang teman tentang dirinya, bangkrut dalam keadaan sakit, seorang perokok berat, dan seorang tolol berbicara kepadanya tentang uang rokok yang bila diakumulasikan sudah mencapai berjuta-juta dan terbebas dari beban sakit paru-parunya, membuatnya makin berpikir dan menyesal, hingga akhirnya dia menyendiri dan mati dalam penyesalan. Bukan! Aku bukanlah orang penyesal dengan apa yang aku lakukan, walau mobil yang bisa ku beli dengan uang rokok inipun aku tak akan menyesal, walau putung rokok ini juga membakar seluruh gudang-gudangku seperti Haji Bakrie hingga bangkrut akupun tak menyesala telah merokok! Walau seperti si tua atau si Kamil yang juga mati, atau siapapun di dunia ini yang menyesal sampai ketulang-belulangnya karena melacurkan dirinya dengan asap tembakau. Aku ingin merdeka, bukankah manusia itu juga memiliki banyak pilihan dalam memerdekakan pilihannya, saat ingin menjadi apapun diapun bebas memilihnya, entah jalan neraka, ataupun jalan surga, asalkan dia puas menjalani hidupnya.

    Sepertinya sudah sang fajar sudah menampakkan biasnya, kemerahan dan perlahan. Aku pun terjebak dalam ujung yang harus ku tentukan, tak terasa sudah satu jam aku menggenggam erat bungkus rokok yang masih banyak isinya, terasa sangat sanyang untu membuangnya, terasa amat memikat untuk menghisapnya, lama dan semakin bingung pikiranku, jantung pun berdetak kencang, langkah ini harus ku ambil menentukan prosesku, sambil gemetar ku kuatkan genggaman tangan, hingga dengan mata terpejam ku remas kuat bungkus, ku patahkan setiap belulangnya hingga tak bisa ku ambil kembali, kecemasan untuk kembali semakin menghantui, dengan beringas kuangkat dan mulai kuayunkan tangan ini ke angkasa menantang bias fajar, untuk melemparkan sisa pelacur ini, untuk mencampakkannya jauh, hingga kebencian inipun yang merubahnya menjadi keiklasan, ya, aku harus dengan sadar, bukan emosi, bukan benci, tapi iklas, perlahan mulutku pun tersenyum, ku turunkan tangan dan bungkus yang tak berguna itu, perlahan ku jatuhkan ke tanah dengan bangga, dengan tenang, dengan damai, dan aku telah merelakannya, aku telah jauh lebih kuat mencampakkannya, tak lagi aku untuk melacur kepadanya.

    Ku tak ada niat untuk berhenti, ku hanya berhasil mencampakkan yang tak semua orang dapat melakukannya, untuk mereka yang telah berlacur ria akan sangat sulit melakkannya, “buat apa? Toh kamu juga tak berhenti”, kata mereka, lalu dengan bangga ku berucap sadar, “aku bukan pecandu lagi”, karena tubuh ini telah baru, jiwa ini tekah baru, pikiran ini juga baru, ada dan tak ada bukan masalah lagi buatku, dan aku hanyalah seonggok tubuh dengan kemerdekaan yang semakin besar, dengan kesadaran yang semakin kuat.
   




    

0 comments: