Monday, August 9, 2010

Tembok-Tembok Ilusi Sri Dewi


           Aku berjalan dengan sesak yang mendalam, jalanan ini begitu panjang dan melelahkan. Dirinya yang kusayang telah menyakitiku hingga tembus ke jantung, seperti ingin berhenti bernafas sejenak mengingat semua yang terjadi. Tak ada kesanggupan lagi untuk melihat kenyataan, mendengarnya seperti bom molotop jatuh tepat dimukaku. Ya Tuhan, betapa bodohnya, semuanya telah kuberikan, kehormatan pun hilang ditelan kenikmatan dan rasa sayang. Ku tak sanggup hidup dalam bayang-bayang ini, aku seorang perempuan, dan Engkau ciptakan aku sangat sensitif, sangat perasa. Aku tak ingin berpisah darinya, tapi ku tak berdaya dan hancur saat bersama. Mengapa Engkau membuatku peduli bahkan dia sama sekali tak peduli, mengapa Kau membuatku terhanyut bahkan dia sama sekali tidak. Kejamnya dunia ini oh Tuhan, apalagi tercipta sebagai seorang perempuan.
            Ku berhentikan kakiku di depan kedai kopi di tepi jalan, tak tahu selang berapa lama aku telah berjalan menyusuri jalan kota yang tak pernah sepi ini. Tanganku menggenggam keras gelas minuman kopi mocanino float yang baru diberikan oleh pelayan, tapi sedikitpun tak kurasakan dingin. Hatiku terlalu panas dan meleleh hingga akupun merasa muak dengan diriku sendiri. Dia memang kekasihku, sudah lama kami bersama, 7 tahun bukanlah waktu yang singkat. Bersama dalam sukar-senang, oh kenangan yang begitu indah kini selalu menghantuiku, hingga tak tahu apakah bisa seindah dulu. Ya, aku terjebak dalam ruang dan waktu yang lalu, aku terperangkap hingga tak sanggup lagi untuk keluar.
            Ku melihat kearah trotoar dan jalanan, begitu banyak kendaraan lalu lalang, sepintas ada keinginan berlari ketengah-tengah dan membiarkan diri ini mencapai kematian yang indah mungkin, karena dunia ini begitu neraka jahanam. Ditengah bising kendaraan terdengar suara Roni yang memarahiku, mengapa aku masih mencintai orang yang tak lagi menganggapku ada? Mengapa aku memelihara dan menambah rasa sakit dengan bersamanya? “Oh maafkan aku Ron, semakin aku mencoba lepas, semakin aku menginkannya untuk kembali kepadaku”, dan dia menjawab, “hey, tak sadarkah kamu dia telah bosan dan mencampakkanmu!!!”, entah setan mana yang merasukiku hingga kumarah kepada Roni dan lebih memilih kekasihku, walau seluruh dunia pun tahu bahwa Roni teman baikku semenjak kecil. Dengan jengkelnya Roni pergi dan mengatakan, “nikmatilah dirimu sebagai bayang-bayang kekasihnya dulu dan kau jauh tak lebih baik dari kekasihnya dulu, oke. Lengkapilah penderitaanmu samapi akhir”. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan, masalah ini begitu berat bagiku, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, maafkan aku Ron, ini tak seperti yang kau lihat.
            Ku menoleh kearah cermin toko depan kafe menghadap ke trotoar, kulihat mukaku dengan jelas, begitu kusut, rambutku acak-acakan, kelopak mataku tebal dan berat, mukaku tampak lebih tua akhir-akhir ini, dan bajuku terlihat tidak karuan dengan setelan yang asal. Hidupku hancur, dan akupun semakin membusuk di dalamnya. Aku stress, bingung, bosan dan ingin mati. Apakah seperti ini hidupku, berbeda dengan khalayan masa kecil saat ku yakin menjadi seorang putri kecantikan dan wanita karier yang menarik. Sekarang kenyataan begitu lain, begitu kejam.
            Ku rebahkan pipiku di atas tangan seraya melihat kesekeliling, pelayan pria itu yang tadi melayaniku, mengapa sekarang dia begitu sopan saat melayani gadis di meja ujung tersebut, sedangkan kepadaku dia hanya sekedarnya, memang wanita itu terlihat menarik, tapi kurasa dia sama cantiknya denganku bahkan aku yakin lebih cantik. Otakku mulai berpikir dan menganalisis, hitung-hitung sambil menghilangkan pikiran yang menyesakkan ini aku ingin memikirkan hal bodoh lainnya. Ku amati wanita itu dengan seksama, dia menggunakan setelan yang sederhana, sopan, tetapi selaras. Dia hanya mengenakan baju putih, dipadu dengan rok hitam yang menutupi baju putih bawah dada hingga bawah pahanya. Begitu simple dan trendy, gaya duduknya mencerminkan kepribadiannya yang sopan, merendah tetapi bernilai. Rambutnya yang ikal dibiarkan terurai menutup setengah wajahnya yang ditata dengan rapi, mukannya bersih dan bersinar dengan senyum hangat setiap bertemu orang yang memandangnya. Oh, bahagiannya perempuan itu, pasti hidupnya sangat menyenangkan dan menarik hingga banyak lelaki pasti akan jatuh cinta kepadanya. Sambil membaca buku dia menikmati kopi esspreso di meja. Walau sendirian dia tak terlihat kesepian, sangat puas menjalani hidup. Andai saja aku seperti dia.
            Lama aku memandangi dia hingga tak sadar aku membandingkan diriku dengan dirinya, diriku yang sekarang kacau, tak sempat merawat badan ini karena memikirkan kekasihku yang selalu menylahkanku, selalu mebandingkanku dengan sosok lain wanita yaitu mantannya. Begitu bersemangat kekasihku menceritakan mantannya yang dianggap sebagai sosok yang sempurna, kepribadian yang tinggi dan membuatnya tak bisa melupakannya, walaupun dia juga mengatakan aku lebih cantik daripada mantannya, tetapi aku tetap merasakan sakit dan sangat perih. Teringat kembali pertama dia mencubuku dengan antusias, melepaskan semua pakaianku, dan merenggut semua kehormatanku. Oh ayah oh ibu, maafkan aku tak bisa menjaga kepercayaanmu padaku.
            Kembali yang ada dipikiranku hanya mati, kuinggin cepat mati dan mengakhiri, aku sudah tidak peduli lagi. Sambil tergopoh kulanjutkan langkah kaki hingga entah kemana, sepanjang jalan melihat berpasang-pasang kekasih yang bermesraan membuat hatiku semakin hancur tak karuan, mengapa aku dan kekasihku tak bisa semesra mereka?seperti tahun-tahun dahulu saat kami saling bercengkrama? Wajah-wajah mereka begitu bersinar dan bahagia? Dan setiap kali kulewati cermin, wajahku terlihat sangat muram dan membeku dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan hidup. Hingga akhirnya tak sadar ku menyalahkan Tuhan yang membuatku begini. Bukankah atas ijinnya hati dan persaanku tak bisa lepas dari kekasihku yang tak pernah peduli lagi kepadaku? Bahkan, saat aku datang sering dia menyuruhku pulang dan memarahiku. Sering aku di duakan dan aku tetap bertahan.
            Tak sadar, langkahku sampai ditengah taman kota, aku duduk di bangku tamannya, mataku menengadah keatas, memandang awan, kuharap diatas sana Tuhan akan melihatku dalam kehancuran dan kegagalan, kuharap dia akan kasian dan memberiku jalan keluar. Diam dalam palung hati aku berdoa dan terus berdoa, air mata ini pun keluar dengan dersanya, asinnya sampai kemulutku dan masuk kedalam kerongkonganku. Ternyata aku tak mendengar suatu jawaban dariNya, mungkin aku harus menemuinya dan langsung menyakannya, mungkin kematian adalah jalannya. Kulangkahkan kakiku dan melangkah dengan lemas, bersiap mencari tempat dipengakhiran hidup ini.
            Kakiku melangkah dengan lemas menyelusuri taman kota hingga tiba-tiba tersandung bebatuan didepannya, badanku terdorong kedepan yang ternyata genangan air, sontak seluruh tubuh ini kotor, air-air genangan pun masuk kemulutku yang terbuka saat teriak kaget. Oh apalagi ini, semakin kacau hidupku ini. Tanpa berpikir panjang dalam keadaan kotor dan tak karuan ini aku masuk ke sebuah toko butik yang tepat ada di depan taman kota tempatku jatuh, tanpa peduli aku meminta pelayannya yang dengan senyum ramah menyambutku untuk memilihkan setelan baju yang kira-kira sesuai dengan ukuranku untuk mengganti baju yang kotor ini. Terserah seperti apa aku sudah tak peduli, aku hanya ingin berpakaian dengan bersih saat ini sebelum aku mati. Setelah mendapatkan satu stel aku keluar mencari toilet untukku membersihkan badan dan mengganti pakaianku, tetapi disamping butik ada sebuah salon kecantikan yang menawarkan spa dengan perawatan full body. Tidak tahu mengapa, langkahku mengarah kesana, mungkin aku ingin memanjakan badan dengan maksimal sebelum aku mati. Dan aku akui, akupun sangat jarang melakukan perawatan tubuh, ke salon tak lebih hanya memotong rambut dan perawatan seadanya.
            Setelah perawatan dari ujung rambut hingga kaki kuterasa sangat segar dan bugar kembali, lalu ku kenakan baju yang tadi aku beli dibutik, ternyata baju itu sangat indah dan pas aku kenakan. Kulihat seluruh badan di cermin dan kudapati orang lain, yang tak pernah aku temui, sangat indah dan menawan. Saat melangkah kaki keluar seorang pelayan wanita yang ternyata wanita di kafe kopi tadi siang memujiku, “nona sangat cantik dan menawan sekali, iri sekali dengan nona, pasti diluar banyak lelaki yang akan mati-matian mendapatkan nona”. Tersentak aku terdiam menatapnya dalam, dia orang yang tadi aku kagumi hanya selang beberapa jam memujiku dengan begitu tulusnya, lalu aku sadar siapa aku dan apa yang harus ku lakukan. Ku ambil handphone ku didalam tas dan ku menelepon kekasihku, dengan tegas kuungkapkan bahwa aku minta putus. Kekasihku tertawa dan langsung menyetujuinya. Aku sudah sadar bahwa aku terjebak dalam ilusi perasaan yang malah menghancurkanku, dan aku punya kehidupan yang baru yang harus aku jalani, kehidupan yang energik dan penuh pesona. Aku harus mencintai diriku sebelum aku mencintai orang lain, karena itulah yang akan mempengaruhi hubunganku.
            Keluar dari salon, kumantapkan kaki melangkah kedepan, wajahku bersinar dengan senyum yang mantap, inilah dunia yang harus aku lalui dengan penuh semangat tanpa ilusi lagi yang menyesatkanku dalam black hole. Oh Tuhan, terimakasih engkau telah mendengar do’aku, aku berjanji tak akan mengecewakanmu, tak akan mengumbar nafsu dengan murah dan tak akan hancur karena cinta, tapi akan kubuat tebaran cinta dengan keindahan ini.

0 comments: