Sunday, August 8, 2010

Sesat...??

“Suara-suara itu kembali datang, akhir-akhir ini dia sering mengunjungiku, tak peduli aku lagi makan, tak peduli aku lagi kerja, dan tak peduli waktu aku mandi maupun buang hajat. Tapi ini terdengar lebih keras, seperti sebuah sinyal, sinyal yang aku sendiri tak mengerti, apa sinyal dari malikat yang akan mencabut nyawaku, atau dia akan memberiku suatu misi. Aku sendiri tak takut, mengapa kalian mengatakan aku harus takut, bukankah kalian pintar dalam hal agama, mengapa menyuruhku takut, walau sekarat pun aku tak takut, karna aku sadar bahwa takut tidaklah menakutkan, hanya imajinasi, hanya perasaan, tidak berbentuk. Kalian anggap aku sesat, karna pandangankuku berbeda dengan kalian, siapa kalian?Tuhankah?bukankah kebenenaran itu relatif, dan biarkan aku benar sehingga aku benar menjadi manusia, menjadi bebas, menjadi apa adanya.”
 Solihin berhenti berbicara, matanya menerawang keawang-awang, seperti mengamati sesuatu. Pak Ustad yang dari tadi disamping ranjang Solihin berusaha berdialog dan membisikkan ayat-ayat suci ketelinga Solihin, seraya menyuruh Solihin untuk segera bertaubat dan takut kepada Tuhan. Tangis sanak keluarga menggema disetiap sudut ruangan 3 x 4 tersebut, udara pengap keringat manusia dan hawa ketakutan sangat terasa, hanya Pak Ustad dan Solihin tampak tenang. Ya, Solihin memang tengah sekarat, tubuhnya telah tak berdaya,sudah seperti mayat, hanya suaranya saja penanda dia masih hidup. Aneh memang,dia nampak sangat tenang mengadapi kematian, malah lebih tepatnya bahagia, apakah dia sangat yakin akan masuk surga?. Jendela dan pintu ruang tersebut sengaja tertutup karena keluarga malu apabila banyak warga yang melihat, seperti menyembunyikan sebuah azab, karena yang sekarat adalah orang yang mereka anggap sesat, orang yang mereka anggap murtad. Sudah cukup atas kebencian warga terhadap Solihin, kebencian akan bertambah apabila mereka mendengar kata-kata yang selalu keluar dari mulut Solihin. Kata-kata itu bisa membakar telinga manusia yang takut dan taat pada Tuhannya.
Solihin menutup matanya, mulutnya tersenyum, seperti melihat sesuatu, melihat indahnya masa lalu, masa yang susah, senang, sedih, ataupun saat sendiri karna semua orang meninggalkannya. Mengangkat kedua tangannyapun seperti beban yang sangat berat, lalu dengan perlahan menaruhnya diatas dada sambil menyatukan jari jemarinya dan memainkannya, Tubuhnya yang kurus kering, lemas, dan sekarat layaknya kayu lapuk akibat penyakit itu telah mengantarkannya dipintu kematian. Tapi heran, tak pernah sedikitpun dia mengeluh, bahkan paras kerut mukanya menggariskan ketegaran dan ketabahan yang hebat. Saat keluarga menjenguknya pun tidak akan merasa kasihan, tetapi takjub dan heran akan keadaannya. Tidak ada dokter dikampung tersebut, pegunungan dan sungai besar menjadikannya terisolasi, hanya Pak Mantri Gani saja. Dia pun tidak tahu jenis penyakit apa yang diderita Solihin, tekanan darah, detak jantung, pupil, dan lainnya normal seperti orang sehat, tapi mengapa Solihin bisa tak berdaya seperti itu? warga bilang itu kutukan karena dia mungkir dari ajarannya.
“Apa yang kamu lihat Solihin”, bisik Pak Ustad ditelinga Solihin
“Aku melihat suatu proses yang panjang akan hidupku, dimana aku sendiri tak menyangka akan proses itu. Apakah aku sedang membaca kembali suratan takdirku yang lalu” Solihin menjawab dengan tenang dan mata tetap tertutup
“Kau telah melihatnya, lantas apa pendapatmu” Dengan cepat Pak Ustad menyakan, karena dia sendiri penasaran bagaimana pendapat Solihin tentang masa lalunya, setahunya, Solihin orang yang dibenci dan dihina
“Begitu indah dan mengagumkan, bahkan aku selalu menikmati setiap kalimat suratan ini, saat sedih, saat bahagia” Jawab Solihin
Pak Ustad tersenyum mendengar jawaban itu, kemudia berkata “Benarkah?tapi bagaimana bisa kesedihan dinikmati”
“Kesedihan adalah anugerah, hayatilah, nikmatilah, hingga kita sangat menghargai kebahagiaan, begitu juga kekalahan dan kemenangan” Jawaban Solihin ini mengisyaratkan sebuah kemenangan besar hidup ditengah kebencian dan hinaan, Pak Ustad sendiri bingung, ada manusia yang dengan mudah melewatinya tanpa menyesal
“Apakah saat ini kamu sedih, saat dipenghujung nyawamu Solihin”
“Tidak, tidak Pak Ustad” seraya membuka mata dan memandang tajam ke arah Pak Ustad. Kemudia dia melanjutkan
 “Aku sama sekali tak mengerti pak Ustad, mengapa begitu banyak orang yang takut mati, sekarang yang aku rasakan seperti berada dalam kehampaan, kosong, aku tak merasa sedih atau bahagia, begitu mengalir, itulah kepasrahan, itulah keiklasan” Hati Pak Ustad tersentak mendengar jawaban ini, tak pernah ditemuinya selama bertahun-tahun menjadi pendamping saat sakarotul maut menemukan orang yang setenang ini menghadapinya, padahal, dia divonis sesat.
“Apakah ada hal mengganjal dalam hatimu?” Pak Ustad terus berusaha mencari celah dan berusaha membuat Solihin mendapatkan ketakutannya, takut akan sebagaimana manusia lainnya akan Tuhan, takut akan segala siksaannya.
“Satu-satunya hal yang mengganjal adalah perasaan itu sendiri, mengapa aku merasakan ini”
Pak Ustad sendiri heran dengan apa yang dikatakan Solihin, orang yang selalu mengoyak ketenangan masyarakat dengan statemen-statemennya. Pernah suatu waktu Solihin mengungkapkan bahwa Dialah alam semesta dihadapan majelis pengajian, bahwa jika dia tak ada maka alam semesta tak ada, dia adalah bagian alam semesta maka dialah alam semesta, maka jika dia adalah alam semesta maka diapun dapat merubah alam semesta. Apakah Solihin yang sangat kecil dapat merubah alam semesta yang begitu besar, seperti seekor semut yang berkehendak menghancurkan dunia. Spontan semua manusia dimajelis itu tertawa terbahak-bahak, dianggapnya kesesatan pikir membuat Solihin menjadi gila dan selalu berhalusinasi, tapi tak hanya disitu saja, Solihin malah menimpali tertawaan itu dengan mengatakan bahwa tak ada dirinya tak ada Tuhan, karena ada atau tiada adalah kehendak, dan dialah kehendak Tuhan, dan bila tak ada kehendak Tuhan maka Tuhan tak ada. Bukankah Tuhan Maha berkehendak. Suatu keberadaan akan absurd atau tak mungkin jika tidak ada suatu pembuktiannya, dan dia adalah pembuktian pertanyaan manusia tentang ada atau ketidakadaan Tuhan. Sempat juga Solihin menghina mereka dengan mengatakan bahwa mereka terlalu bodoh untuk disebut manusia, agama selalu menyuruh untuk menggunakan pikiran, menggunakan akal, tapi kalian hanya menggunakan perintah manusia-manusia yang kalian anggap tahu, dan tololnya kalian mematuhi dan menjalankan perkataannya. Bahkan dalam memahami ayat-ayat suci kalian lebih mempercayai orang yang kalian anggap benar itu daripada otak kalian sendiri, dia mengatakan “sekarang katakan padaku, bagaimana kalian menggunakan otak kalian, atau kalian tidak punya otak?” Serentak orang-orang geram dan membrutal kearah Solihin, bak dikejar singa Solihin lari kocar-kacir menyelamatkan diri, setelahnya, dorongan keluarga memaksa Solihin harus meminta maaf kepada orang-orang tersebut.
Walaupun dianggap sesat pikirannya, Solihin memang tidak pernah lupa mengerjakan Ibadah di Masjid, dia sangat rajin dan taat. Tetapi tetap saja dia dijauhi dan dipandang hina, bahkan orang-orang di mesjid pun selalu memandang dengan isyarat mata yang mengecilkan atau lebih tepatnya hinaan, saat itu juga senyuman khas Solihin yang lebar itu membalasnya.
“Aku mulai melihatnya Pak Ustad, inilah yang sangat mereka takutkan, inilah yang sangat dibenci orang, tetapi dia sangat indah dan menawan, dia mulai muncul dari dinding-dinding, dia melayang-layang dilangit-langit ruangan ini, dan tunggu dulu, ternyata dialah yang memberiku sinyal-sinyal itu, sekarang aku paham akan sinyal-sinyal itu” Mata Solihin bergerak kekanan-kiri melihat  langit-langit.
“Apakah itu malaikat pencabut nyawamu Solihin” Tanya Pak Ustad
“Bukan Pak Ustad, dialah sahabatku, dialah kawanku, mungkin kalian menyebutnya malaikat pencabut nyawa, tapi sebenarnya dialah sahabat kita, yang selalu menjadi bayang-bayang manusia dimanapun dia berada, tak peduli dimanapun, saat waktu kita tiba maka sang sahabat ini akan menemui sahabatnya, dia selalu berada disisi kita sepanjang waktu, dan menanti waktu kita untuk pergi bersamanya”
Suara tangis makin keras memenuhi setiap sudut ruangan tersebut. Memang, walaupun dianggap sesat pikir, bahkan oleh sanak keluarga, sikap Solihin yang sangat baik dan selalu membantu keluarga yang lain tidak bisa membencinya bahkan menyayanginya, dan hal itulah mengapa seluruh keluarga merasa terpukul melihat jalannya ritual kematian seorang anak manusia yang mereka sayangi. Tiba-tiba hawa dingin menjalar perlahan memenuhi ruangan, aroma bau aneh pun mulai tercium hidung, tetapi hawa dingin tersebut lain, hawa dingin yang menakutkan, aroma kematian. Para keluarga mulai gelisah, mungkin saatnya sebentar lagi, tetapi Solihin tetap tenang dan tersenyum, menanggapi fenomena tersebut Pak Ustad langsung membisikkan kembali ayat-ayat suci telinga Solihin.
“Saatnya sudah semakin dekat, kumohon, ikutilah setiap ucapanku Solihin, Asshadualla Illahillallo, waasshaduanna Muhammadarrosululloh” Kini dengan suara yang keras
“Apa makudmu Pak Ustad” Dengan nada sedikit tinggi seperti ledakan marah yang tertahan
“Sudah, Ikuti saja” seraya mengucapkannya berkali-kali ke telinga Solihin
“Engaku menghinaku Pak Ustad, taukah engkau wahai Ustad, setiap detik, setiap nafas, setiap langkah, aku selalu memuji namaNya dan nama Rosullulah dalam hatiku Ustad”
“Harus kamu ucapkan lewat lisan Solihin” Pak Ustad mencoba menenangkan
“Sesungguhnya ketulusan datang dari hati, dan sesungguhnya suatu kebaikan juga berasal dari hati, dalam hatiku hanya ada satu nama, dan itu hanya namaNya, seluruh tubuhku pun telah dirajah oleh namaNya”
“Kenapa kamu tidak sedikitpun merasa takut Solihin”, Kini Pak Ustadlah yang mulai geram
“Ketakutan hanya untuk mereka yang selalu menjilat kepadaNya, selalu menggunakan namaNya untuk kepentingannya, selalu dikelilingi rasa berdosa akan setiap tindakannya, karena mereka menghianatiNya, karena mereka tidak sungguh-sungguh menyebut namaNya atas rasa syukur, tetapi hanya memohon untuk mengharapkan timbal balik akan kemurahanNya, selalu mengeluh akan setiap cobaan, hanya mau senang saja, dan selalu merasa kurang…kurang…dan kurang….”
“Apa Maksudmu” sergap pak Ustad
“Dalam setiap do’a, aku tidak pernah meminta sesuatu apapun untukku kepadaNya, aku yakin Dia Maha Melihat sehingga tau akan kebutuhannku, aku yakin Dia Maha Penyayang, sehingga mengerti apa yang terbaik untukku, do’aku hanya syukur dan syukur kepadaNya, tak henti-hentinya aku memuji namaNya dalam setiap aliran darahku, dalam setiap nafasku”
Pak Ustad tercengang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Solihin, dalam hatinya ada rasa takjub dan malu untuk mendengarnya,  walaupun dia seorang Ustad, seorang yang dianggap mengerti agama , seorang yang sangat dihormati,  berbeda dengan Solihin seorang yang selalu dimarginalkan, ingatan pak Ustad kembali ke masa kecilnya, dia dan Solihin adalah sahabat, dan dimasa kecil, dimasa masih arogan terhadap apapun, Solihinlah yang selalu mengingatkannya untuk segera beribadah jika waktunya tiba, bahkan sering kali dia mengancamnya, “Tak semestinya sebagai manusia kamu bertingkah sombong seperti ini” itulah ucapan yang teriang-iang ditelinga Pak Ustad,  ucapan manusia yang dianggap sesat, ucapan manusia yang sedang sekarat di depan matanya, ucapan manusia yang…arrghhh..tak sanggup lagi Pak Ustad berpikir, tak disadari air matanya berlinang, air mata kemurnian cinta sesama manusia, air mata seorang sahabat yang sudah lama tidak bertemu, tak sadar pun tangannya memegang tangan Solihin, adegan sebuah kerinduan, serentak seluruh keluarga di ruangan tersebut kaget bahkan berhenti menangis, apa yang sedang terjadi? Pertanyaan itu pun muncul dimasing-masing kepala mereka, mereka seperti keheranan melihat adegan tersebut. Sesungguhnya bukan merekalah yang paling heran, tetapi Pak Ustad, dia tidak hanya merasa heran,tetapi juga takjub bahkan malu, sangat malu,  Solihin adalah sahabat lamanya, selama ini mereka sering bertemu dan mengobrol, tetapi Pak Ustad tidak mengenalnya, sama sekali tidak mengenalnya, bahkan gelar Ustad itu makin memisahkan mereka,  maka kini mereka seperti bertemu kembali setelah sekian lama berpisah, semenjak masa kecilnya, dan saat ini adalah saat mereka berjumpa kembali, kerinduan dua jiwa yang lama hilang.
“ Sudah lama sekali ya Pak Ustad” tiba-tiba suara Solihin memecah suasana
Pak Ustad tidak menjawab, hanya menangis, tangisan adalah ekspresi, sublimasi, hanya bisa dihayati, tidak lagi berguna penyesalan, rasa malu, rasa salah, rasa hina, semua terangkai ditiap tetes air mata. Itulah suara hati, ungkapan jiwa manusia yang tak terangkai kata, seperti senandung angin ditengah Oase, sejuknya menggetarkan nurani, menyayangi, mencintai, mengasihi. Selain itu apalagi yang bisa membahagiakan manusia.
“Sudahlah Pak Ustad, aku senang kau kembali, jangan malu atau menyesal” Solihin seperti mengerti apa yang sedang dipikirkan pak Ustad
“Aku mohon, jangan lagi kamu panggil aku Pak Ustad, panggil aku Parman, sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu dari mulutmu, bukankah nama itu yang selalu kamu puji sewaktu kita masih kecil” Sekarang Pak Ustad memeluk memeluk Solihin, dia tenggelamkan mukanya diatas dada Solihin, tetes air matanya pun membasahi dada telanjang Solihin, meresap kedalam pori-pori, mencari jiwa didalam tubuh sahabatnya, sekedar untuk dapat memeluknya, mengutarakan segala penyesalannya, menyakinkan bahwa jiwa mereka khan tetap bersama, walau tubuh berpisah, tak apalah, tapi bila jiwa sudah bersahabat, maut bukanlah pemisahnya.
“Iya”
“Aku seperti menyesal dengan apa yang terjadi selama ini, mengapa aku tidak bisa mengenal dirimu seperti dulu sewaktu kecil, mengapa aku tidak bisa melindungimu saat  warga menghinamu, aku…aku…maafkan aku sahabat” Parman sudah tidak lagi mengutarakannya lewat kata
“Sudah Parman, Kamu sudah melakukannya” sambil mengelus-elus ubun-ubun sahabatnya
“Apa lagi maksudmu??” Parman malah bingung
“Selama ini kamu hanya diam, sebagai Ustad kamu tidak pernah bilang aku sesat, dan kamu sangat bijak, aku sangat menghormatimu, dan kamu sudah melindungiku sebagai sahabat, tahukah kau mengapa kau tidak dapat mengucapkan hal yang sama  seperti mereka (sesat), karena hatimu menolaknya, jiwamu selalu memperingatkanmu”
Parman alias Pak Ustad semakin malu, malu akan dirinya, malu akan gelarnya sebagai Ustad, baru kali ini dia merasa malu dan mersa tak pantas mendapat gelar itu, gelar itulah yang sesungguhnya selama ini menggagunggnya, mau diapakan lagi, bukan dia yang memberi gelar, tapi masyarakatlah, dia seperti terkunci dalam gelar tersebut, kewajiban dan tanggung jawabnya semakin besar, semua tingkah harus dijaga, harus bisa mengantar masyarakat, memang ada gelar diatasnya, yakni kyai, tetapi gelar Ustadpun baginya terlalu berat, mengapa harus ada gelar dalam Agama, bukannya semua harus saling menjaga, saling mengajar, saling mengisi, saling memberitahu, darimana datangnya sebuah gelar, gelarlah yang membuatnya merasa berbeda dari sahabatnya, dari masyarakat, dari asalnya.
Tiba-tiba hujan turun begitu derasnya, tetes-tetesnya memainkan senandung rindu, rindu kebersamaan yang akan terpisahkan, inilah tembang kematian. Salah satu keluarga membuka jendela, hingga semua melihat lebatnya hujan, udara ruangan yang pengappun menjadi dingin, walaupun hawa dan aroma kematian masih terasa, seperti ada sesuatu yang aneh, ada sebuah tawar menawar disini, yang tidak dipahami oleh semua orang kecuali Solihin sendiri, matanya menatap keatas, sebuah isyarat untuk sahabatnya yang lain, dia seperti mengulur kematiannya sendiri, hujan dan senandungnya menjadi saksi romantisme dua sahabat yang bertemu kembali.
“Parman”
“ya Solihin”
“Aku merasa akan dikenang”
“Pasti Solihin, pasti, kau begitu baik dan sangat ramah terhadap masyarakat”
“Bukannya mereka membenciku”
“Mereka membencimu karena belum mengenalmu”
“Hmmm….mungkin”
“Bukankah dulu banyak kaum muslimin yang dianggap sesat bahkan dibunuh, tetapi akhirnya mereka sekarang dijunjung dan diagungkan namanya”
“Tapi aku bukan mereka, aku pun tidak pernah mendengar tentang mereka, kecuali satu orang”
 “Siapa yang kamu kenal?” Tanya Parman sambil melepas pelukan dan menatap sahabatnya
“Muhammad”

Menarik nafas dalam dan mengeluarkan dengan cepat, lalu menjawab “Iya, kamu benar Solihin, dijamannya Beliau juga dianggap sesat, tetapi dengan kerja dan semangatnya beliau dapat meyakinkan seluruh manusia untuk mempercayainya” Parman memang pernah belajar akan hal itu, Muhammad dulu dicemooh, dihijat, dianggap sesat, tetapi dia membalasnya dengan kebaikan, dia membela kaum miskin dan tertindas, melindunginya, dan mengajak mereka ke jalan Allah, bukan agama lama mereka yang menyembah patung dan digunakan sebagai alat penindas bagi penguasa dan tokoh agamnya.
“Menurutku yang benar adalah keberanian dan keyakinannya akan kebenarannlah yang membuatnya bisa” dengan nada semangat
“iya kamu benar Solihin, bahkan dialah satu-satunya yang kutahu dapat mengabungkan antara agama dan politik, sekarang agama bukan menjadi landasan untuk berpolitik, tetapi agama selalu dipolitisir, agama selalu dijadikan alat stabilitas dan pembenaran oleh penguasa dan juga untuk bisnis” parman sadar betul akan keadaan sekarang, dimana agama digunakan sebagai pembenar untuk perang, pembenar untuk kekuasaan, pembenar untuk pembantaian, pembenar untuk ini…itu….bukankah agama itu ada untuk melindungi setiap insan manusia, menyejahterakan manusia yakni kemaslahatan umat, menjaga silahturahmi, apakah agama hanya berupa simbol tanpa aplikasi yang real?mungkin hanya waktu dan pendewasaan pola pikir yang bisa menjawabnya.
“Iya, kamu benar, dan untuk alasan itulah aku mohon kepadamu untuk menjaga kehormatannya, berikan mahkota emas diatas kemurnian ajarannya” menatap penuh harap kearah Parman
“Terbebas dari segala kepentingan pribadi dan kelompok”
“Ya, ya Parman, lakukan itu, kaulah harapan bagi masyarakat disini, dan tapi kau harus berani Parman”
“Ya Solihin” Dengan tegas Parman menjawab, padahal dia sendiri ragu untuk melakukannya, begitu kecil pengaruhnya, memang siapa dia? Parman bukanlah siapa-siapa, tak lebih dari Ustad disebuah kampong kecil yang terpentil dikelilingi gunung dan sungai besar, tapi melihat Solihin seperti ada tekad besar dan semangat besar, bagai tsunami meluluhkan seluruh kota, maka semangat itulah yang mulai menghanyutkan keraguannya.
“waktuku sudah tiba Parman, hujan sudah berhenti, tanah juga sudah sejuk untuk menerima kedatangan jasadku, aku sudah tidak bisa menawar lagi, selamat tinggal Parman, Selamat tinggal sahabatku”
Sebelum Parman mengucapkan kata-katanya, Solihin sudah tidak bernyawa lagi, matanya redup memandang keatas, bibirnya seperti tersenyum isyarat kepuasannya selama di dunia, Tangannya berada diatas dada seperti dalam posisi Sholat, Serentak air mata dan teriak histeris seluruh keluarga menggema, mereka memeluk tubuh Solihin yang tak bernyawa, Parman hanya menatap dengan pasrah, anehnya dia malah lebih tenang dari sebelumnya, air matanya pun telah terhenti, sperti masa baru telah datang kepadanya, tugas baru dan kewajiban baru, Parman kemudian menutup mata Solihin dengan membaca ayat-ayat suci, lalu tubuhnya menjauh, membiarkan para keluarga untuk memeluk dan menangisi tubuh itu. Hawa kematian dan aromanya masih terasa, Parman keluar meninggalkan ruang tersebut untuk memberitahu warga bahwa manusia yang mereka anggap sesat telah mati, apakah warga akan membantunya untuk mengurus pemakamannya atau malah menolaknya dikubur dikampung tersebut, parman sendiri tak tahu?warga sangat membencinya, dia takut apabila kebencian tersebut tidak hilang, walau anak manusia tersebut telah meninggal.

0 comments: